Jumat, 04 Maret 2011

ANAKKU

Aku tak sanggup membendung jatuhnya airmata.
Begitu pasien terakhir keluar ruang periksa, aku terguguk seketika. Deraan rasa ngilu memukul dinding hatiku. Seketika wajah bulat dengan rambut ikalnya menari-nari di pelupuk mata, menambah kepedihan yang semakin menggigit kuat.

Ibu macam apa aku ini?

Ketakutan menyergapku ketika gambaran “Sybil, Gadis dengan 16 Kepribadian” yang kubaca saat kuliah beberapa tahun lalu menyeruak begitu saja. Sosok orangtua Sybil tiba-tiba telah menjelma dalam diriku. Semakin menyadarinya, semakin deras airmata mengalir. Membasahi buku register di atas meja.

Maafkan ibumu, Nak...

Hari ini kunjungan pasien ke ruang praktikku sebagian besar anak-anak. Bayangkan, dari berpuluh-puluh pasien anak-anak itu – pasti dengan karakter pribadi berbeda satu dengan lainnya – aku mampu dan mau untuk menghadapi mereka dengan sikap layaknya seorang ibu, bisa menebar senyum penuh pesona, bercengkerama dan bercanda dengan penuh riang, memberi nasehat dengan bahasa anak-anak, bisa mengerti dan memahami tingkah laku dunia mereka! Pokok kata, aku bisa menjadi dokter, ibu, sekaligus teman mereka!

Gila! Sungguh gila!

Sebelum berangkat praktik di klinik ini, aku adalah seorang monster bagi anakku sendiri! Anakku yang berusia sebaya dengan kebanyakan pasien-anakku hari ini : tujuh tahun!

Ah, wajah bulat dengan rambut ikalnya itu kembali mengoyak relung hatiku hingga menjadi serpihan-serpihan sembilu. Pedih nian sakit ini....

***

Wajah bulat dengan rambut ikal itu telah terlelap dengan sesungging senyum di bibirnya. Aku mendekatinya tanpa kata.

Tak seharusnya engkau menerima luapan masalah ibumu, anakku...
Tak sepantasnya engkau merasakan semua risau hati ibumu, anakku...
Seharusnya engkau hanya mencecap manis masa kanakmu sebagaimana seharusnya seorang anak mengenyam dunianya, tak harus direcoki dengan masalah-masalah dewasa orangtuamu, anakku...

Dunia dewasa memang dunia rumit yang penuh warna, anakku...
Warna itu memang tak selalu seindah pelangi. Terkadang laksana awan hitam yang membuat ciut nyali. Mendung, kelam. Bahkan terkadang gelap hingga tak mampu melihat kedalamannya. Padahal siapa tahu, anakku, di balik gelapnya itu sebenarnya terhampar saputan warna pelangi.
Dan seharusnya, sekelam apapun warna dunia dewasa, tak pantas menyeret jiwa ceria kanak-kanakmu ke dalam pusarannya, anakku...

Lihatlah wajah bulat dengan rambut ikal yang terlelap itu. Tak secuil pun menampakkan bekas luka jiwa. Padahal gelegar suara dan sikap kasarku telah merobek lumat jiwa tak berdosanya itu. Pantaskah surga berada di bawah telapak kakiku?

Maafkan ibumu, Nak...( Ahhh... masih layakkah sebutan “ibu” untukku? )
Hanya karena perilakumu melewati batas perilaku sewajarnya.
Hanya karena engkau kini lebih sering berkata lebih keras dari biasanya.
Hanya karena prestasi akademik sekolahmu meluncur jatuh tak berperingkat.
Hanya karena itukah sanggup mengguncang emosiku hingga kalap gelap mata setiap mengahadapimu?

Ah, bila dikorek jauh ke kedalaman jiwa, sebenarnya di sana akan terlihat alasan sesungguhnya. Engkau merupakan sasaran yang tepat sebagai pelampiasan ketakberdayaanku menghadapi ujian dunia yang beruntun. Layakkah sebutan “ibu” bagiku?
Sebaik-baik seorang ibu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Aku malah terbalik. Di luar rumah, dengan anaknya orang lain bisa bersikap manis. Di rumah, dengan anak sendiri beringas laksana harimau lapar. Anakku telah menjadi keranjang sampah kemarahanku. Layakkah sebutan “ibu” bagiku?

***

Anakku...
Kini aku bisa memandangmu dengan jernih dalam lelapmu. Engkau begitu manis. Engkau begitu damai. Engkau menyejukkan pandangan mata. Merontokkan kepenatan mengejar kesenangan dunia yang memperdaya..

....
Hanya ketika air mengalir dari sungai ke sungai mencapai teluk yang luas dan tenang atau masuk ke bendungan atau telaga kecil yang hening – hanya setelah itu, kita bisa melihat setiap daun pepohonan di tepinya, setiap kepingan awan dan keluasan birunya langit di kehalusan permukaannya yang laksana cermin.*)
....

Tak tahan, kutarik tubuh lelap itu untuk kupeluk sepenuh hati. Aku tidak peduli sekalipun seandainya wajah bulat dengan rambut ikalnya itu terbangun akibat tindakanku itu. Tidak, ternyata wajah bulat dengan rambut ikalnya itu tetap dalam lelapnya.

Kulihat sepotong kertas di dekat bantalnya. Refleks tanganku meraihnya. Tangisku kembali pecah, dalam sedu-sedan yang tertahan...
for my beloved Mom...I’m sorry i haven’t give you the best. But i’ll try to. Thanks for all. You’re the best mom in the whole world forever.

Jiwaku luruh tak bertenaga. Jatuh melayang dalam gelap...

Ya Allah, Rabb yang Maha Pengampun...
Ampuni hamba, seorang ibu yang zholim ini.. Seorang ibu yang tak layak menjadi ibu..
Beri hamba kesempatan untuk memperbaiki diri dalam mendampingi amanah dariMu yang Engkau titipkan padaku, hingga kelak dia bisa menjadi jaminan surga bagiku...

Kucium wajah bulat dengan rambut ikalnya itu dengan penuh cinta yang tiba-tiba telah memenuhi seluruh ruang hatiku.
Maafkan ibumu, Nak...

*)REFLEKSI, Alexander Solzhenitsyn. Penerjemah Farid Gaban, dalam Berita Buana Minggu 27 Januari 1991