Jadilah hari ini. Bertempat di kediaman Pak Sukir, kami saling berbagi kisah. Kenangan yang terangkai selama enam setengah tahun bersama. Kisah yang terentang sepanjang 33 tahun itu terhimpun dengan haru. Bermuara pada niat, kan berlanjut sepanjang sisa usia kami.
Minggu, 09 Desember 2012
Sabtu, 13 Oktober 2012
REUNI ( 1 )
Akhirnya sore ini bisa bertemu dengan teman yang telah terentang 33 tahun lamanya tak sua. Meski baru dengan Waluyo, Siti, dan Siroh tetapi telah mampu menghilangkan debar cemas semalam, khawatir tak jadi bertemu.
Berempat sepakat bahwa angkatan kami sepertinya angkatan yang banyak istimewanya. Barangkali bermula karena pada angkatan kami-lah terjadi perubahan tahun ajaran baru yang semula Januari menjadi Juli. Sisa waktu satu semester membuat kami mempunyai banyak kesempatan.
Setiap hari Sabtu, hari terakhir sekolah dalam sepekan, kami selalu diberi hadiah. Begitu masuk kelas setelah istirahat siang, di papan tulis telah tergambar empat sekuel lukisan kapur tulis. Kami menghabiskan siang itu dengan mendengarkan dongeng Pak Sukir.
"Salah sawijining dino...." adalah kalimat pembuka setiap dongengnya. Pembuka itu selalu dengan suara bariton dan penekanan nada yang membuat kami langsung terpaku penasaran. kemudian suara dan intonasi Pak Sukir akan berubah-ubah sesuai karakter dongeng yang disampaikan. Membuat kami selalu terpukau memperhatikan gerak-gerik Pak Sukir nyaris tak berkedip. Tersihir. ( Terima kasih, Pak Sukir, bekal itu ternyata sangat bermanfaat tatkala aku dihadapkan kepada kedua anakku menjelang tidur mereka. Meski cara mendongengku tak sehebat cara mendongeng Pak Sukir, aku sangat bersyukur bisa mendongeng untuk kedua anakku....)
Kalau tidak salah, angkatan kami satu-satunya yang melakukan perjalanan rekreasi dalam tiga kali kesempatan. Kesempatan pertama, menjelajah sepertiga wilayah kecamatan barat selatan. Kesempatan kedua, selang sepekan setelahnya, menjelajah sepertiga wilayah kecamatan barat laut dan utara. Dan penjelajahan itu berakhir pada sepekan kemudian, menghabiskan sisa wilayah kecamatan sisi timur laut dan timur.
Penjelajahan itu banyak sekali menyimpan pembelajaran bagiku. Melatih kekuatan fisik itu pasti, karena hamparan 13 desa itu kami jelajahi dengan jalan kaki. Tak peduli tak bersepatu, kaki kami semangat melangkah menaiki bukit, menuruni lembah, menyusuri pematang, dan menyeberangi sungai. Sepekan setelah penjelajahan itu berakhir, kedua kuku ibu jari kakiku terlepas, karena di penjelajahan terakhir ingin bergaya dengan memaksakan diri memakai sepatu yang kesempitan.
Belajar menyintai alam dan lingkungan, itu bonus yang lain. Bagaimana aku tidak menjadi cinta, bila dalam sepanjang perjalanan itu yang disuguhkan ALLOH adalah laksana hamparan surga yang dilukiskan di kanvas dunia.
Penjelajahan itu bukan hanya sekadar penjelajahan alam. Di setiap desa kami diajak Pak Sukir untuk singgah di sekolah yang ada. Berkenalan dengan para guru dan siswa sekolah tersebut. Menjaga silaturahim dengan siapapun, barangkali itu yang hendak Pak Sukir ajarkan kepada kami.
Untuk itu, di pertemuan tadi kami sepakat untuk memulai ikatan di antara kami dan teman-teman adalah bersilaturahim ke Pak Sukir. Dengan teman yang lebih banyak tentunya. Insya Alloh setelah Iedul Adha. Siroh, juragan ikan asin itu yang akan menjadi koordinator acara tersebut. Tak perlu mewah, yang penting harus istimewa. Setelah itu barulah kami akan membuat kesepakatan lain bentuk ikatan silaturahim itu. Yang jelas tidak akan menggunakan media sosial semacam facebook ataupun twitter. Bukan apa-apa. Kami hanya ingin silaturahim itu bernilai lebih. Dan, akan selalu istimewa.
Berempat sepakat bahwa angkatan kami sepertinya angkatan yang banyak istimewanya. Barangkali bermula karena pada angkatan kami-lah terjadi perubahan tahun ajaran baru yang semula Januari menjadi Juli. Sisa waktu satu semester membuat kami mempunyai banyak kesempatan.
Setiap hari Sabtu, hari terakhir sekolah dalam sepekan, kami selalu diberi hadiah. Begitu masuk kelas setelah istirahat siang, di papan tulis telah tergambar empat sekuel lukisan kapur tulis. Kami menghabiskan siang itu dengan mendengarkan dongeng Pak Sukir.
"Salah sawijining dino...." adalah kalimat pembuka setiap dongengnya. Pembuka itu selalu dengan suara bariton dan penekanan nada yang membuat kami langsung terpaku penasaran. kemudian suara dan intonasi Pak Sukir akan berubah-ubah sesuai karakter dongeng yang disampaikan. Membuat kami selalu terpukau memperhatikan gerak-gerik Pak Sukir nyaris tak berkedip. Tersihir. ( Terima kasih, Pak Sukir, bekal itu ternyata sangat bermanfaat tatkala aku dihadapkan kepada kedua anakku menjelang tidur mereka. Meski cara mendongengku tak sehebat cara mendongeng Pak Sukir, aku sangat bersyukur bisa mendongeng untuk kedua anakku....)
Kalau tidak salah, angkatan kami satu-satunya yang melakukan perjalanan rekreasi dalam tiga kali kesempatan. Kesempatan pertama, menjelajah sepertiga wilayah kecamatan barat selatan. Kesempatan kedua, selang sepekan setelahnya, menjelajah sepertiga wilayah kecamatan barat laut dan utara. Dan penjelajahan itu berakhir pada sepekan kemudian, menghabiskan sisa wilayah kecamatan sisi timur laut dan timur.
Penjelajahan itu banyak sekali menyimpan pembelajaran bagiku. Melatih kekuatan fisik itu pasti, karena hamparan 13 desa itu kami jelajahi dengan jalan kaki. Tak peduli tak bersepatu, kaki kami semangat melangkah menaiki bukit, menuruni lembah, menyusuri pematang, dan menyeberangi sungai. Sepekan setelah penjelajahan itu berakhir, kedua kuku ibu jari kakiku terlepas, karena di penjelajahan terakhir ingin bergaya dengan memaksakan diri memakai sepatu yang kesempitan.
Belajar menyintai alam dan lingkungan, itu bonus yang lain. Bagaimana aku tidak menjadi cinta, bila dalam sepanjang perjalanan itu yang disuguhkan ALLOH adalah laksana hamparan surga yang dilukiskan di kanvas dunia.
Penjelajahan itu bukan hanya sekadar penjelajahan alam. Di setiap desa kami diajak Pak Sukir untuk singgah di sekolah yang ada. Berkenalan dengan para guru dan siswa sekolah tersebut. Menjaga silaturahim dengan siapapun, barangkali itu yang hendak Pak Sukir ajarkan kepada kami.
Untuk itu, di pertemuan tadi kami sepakat untuk memulai ikatan di antara kami dan teman-teman adalah bersilaturahim ke Pak Sukir. Dengan teman yang lebih banyak tentunya. Insya Alloh setelah Iedul Adha. Siroh, juragan ikan asin itu yang akan menjadi koordinator acara tersebut. Tak perlu mewah, yang penting harus istimewa. Setelah itu barulah kami akan membuat kesepakatan lain bentuk ikatan silaturahim itu. Yang jelas tidak akan menggunakan media sosial semacam facebook ataupun twitter. Bukan apa-apa. Kami hanya ingin silaturahim itu bernilai lebih. Dan, akan selalu istimewa.
Jumat, 05 Oktober 2012
dr. Dyah
Sehari menjelang mengikuti Bimbingan Teknis Standar Akreditasi Baru di Bandungan, bersama Direktur dan Ketua Yayasan.... Begitu saja teringat dr. Dyah....
*dr. Dyah, beginilah cara saya membangun semangat diri agar tetap dapat bertahan di sepanjang perjalanan akreditasi yang lalu*
***
(Selasa, 5 Juni
2012 22.24)
Dear
dr. Dyah....
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Ijinkan
saya mundur beberapa langkah, menapaktilasi perjalanan yang berujung pada
pertemuan kita. Saya menolak masuk sebuah rumah sakit, tapi tak kuasa untuk tidak
menerima tawaran ketua yayasan rumah sakit ini, yang membuat beberapa orang
bertanya kenapa. Dan dr. Dyah tak mau menerima tawaran ke Lampung, tapi
semangat berkunjung ke kota kami. Semuanya terlihat begitu indah, tertata
dengan rapi, penuh perhitungan yang seksama sehingga terbentuk harmoni yang
menakjubkan. Saya baru mulai bisa memandangnya sekarang. Alangkah indahnya,
meski saya berjalan hanya mengikuti aliran tempat menuju..... *Tatkala perjalanan ini bersandar pada
aliran arus-Nya, tak perlu banyak tanya meski awalnya tak paham arah. Tak usah
bingung meski tak mengerti. Asal tujuan kita pasti - semata hanya karena Allah,
insya Allah kita tak kan tersesat. (terngiang nasehat seorang sahabat)*
(Rabu, 6 Juni 2012
22.19)
Dear
dr. Dyah...
Hari
ini saya masuk kerja dengan mata yang sembab sangat. Saya tidak peduli. Hampir
semua mata yang beradu dengan mata sembab saya bermimik penuh tanya. Kenapa
saya harus peduli?
Hanya
teman saya berdua itu yang tak menanyakan apapun. Mereka telah tahu. Semalam,
sms dr. Dyah telah saya forward ke
mereka berdua. “Njuk, piye, jaaaal...?”
Bunyi sms yang sama dari mereka berdua serentak bersambung. Kita harus tetap
semangat, kata saya. Ah, sebenarnya kata itu saya tujukan hanya untuk diri
sendiri karena begitu saja jiwa ini terpuruk luruh. Bukan soal bisa atau tidak
bisanya konsultasi lagi yang jadi sebab. Bukan soal itu. Luruh ini semata
karena takut kehilangan...
Dear
dr. Dyah...
Rentang
perjalanan di episode akreditasi ini, saya telah kehilangan banyak hal. Dan semua
itu menjadi sebuah kemewahan yang semakin saya rindukan dalam ketakberdayaan.
(Kamis, 7 Juni
2012 22.37)
Dear
dr. Dyah....
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Alangkah
lucunya sehari tadi... Baru sehari tadi, Dok... Sehari. Sehari tidak ada e-mail
dari dr. Dyah, kami sudah merasa kehilangan... Entah berapa kali kami
bergantian mengintip inbox e-mail di sela kesibukan kami menata ulang dokumen
seraya mengoreksinya, berharap ada sebuah - sebuah saja - e-mail dr. Dyah menyapa kami. E-mail yang
membuat kami terpompakan semangatnya. E-mail yang membuat kami tertawa
kegirangan. E-mail yang membuat kami merasa begitu dekat dengan dr. Dyah
walaupun dr. Dyah nun jauh di sana. E-mail yang membuat kami merasa bahwa dr.
Dyah adalah teman seperjalanan kami yang menyenangkan dalam menempuh akreditasi
ini.
Baru sehari tanpa e-mail dr. Dyah, kami telah
kehilangan....
Dear
dr. Dyah....
Alhamdulillah,
meskipun harus kehilangan banyak hal saya bersyukur diberi kesempatan oleh
Allah untuk belajar sesuatu yang sama sekali baru bagi saya.
Periode
ini tidak akan terlupa. Meski di rentang perjalanannya sering membuat jiwa
luruh di titik nadir. Meski ujung episodenya belum terlihat bentuknya. Saya
akan selalu memandangnya dengan pandangan yang sama yang sering dr. Dyah
sampaikan, indah terasa. Kehendak Allah terasa indah pada saatnya.
(Jum’at , 8 Juni
2012 22.23)
Dear
dr. Dyah....
“Ceria
sekali, sudah dapat kabar apa dari dr. Dyah?” sapa Ketua Yayasan di ujung anak
tangga siang tadi. Saya tersenyum, “Standar 7 sudah dibalas, Bu.”
Gara-gara
mata sembab saya beberapa hari lalu itu, Ketua Yayasan selalu menunggu saya di
ujung anak tangga untuk sekadar menanyakan kabar dr. Dyah.
Dear
dr. Dyah...
Pagi
tadi kehebohan pecah di ruang apotek karena BBM-an dr. Dyah dengan mereka.
“Lihat,
nih, lihat... Masa’ gini banget, sih? bla...bla...bla...jujur, ya, berat untuk
lulus...”
Saya
tersenyum getir. Bukan karena kabar itu, tentu.
“Apa
yang akan terjadi kalau dr. Dyah bilang bisa lulus?” saya bertanya sambil
melerai jiwa yang gelisah.
“Kita
akan lengah. Menjadi santai karena sudah merasa bisa lulus,” sambung saya
tatkala matanya tertuju pada pertanyaan saya tanpa jawab. “Jadikan kata-kata
dr. Dyah sebagai cambuk, kerja semaksimal mungkin dan berdoa. Hasilnya serahkan
kepada ALLOH. Beres, kan?”
Ah,
lagi-lagi, sebenarnya kata-kata itu saya tujukan untuk diri saya sendiri.
Dear
dr. Dyah...
Rumah
sakit ini adalah salah satu sekolah saya...
Saya
selalu didera kegelisahan sejak kepulangan saya di kota ini. Dan kegelisahan
itu semakin menampakkan bentuknya setelah saya diberi ALLOH kesempatan untuk
bergabung di rumah sakit ini.
(Sabtu, 9 Juni
2012 22.28)
Dear
dr. Dyah...
Semenjak
bimbingan, Sabtu adalah jadwal duduk bersama antara Yayasan, Direktur, dan Tim
Akreditasi....
Kembali
dr. Dyah menjadi trending topic...
Ketua Tim Akreditasi menanyakan kepada saya, apakah begitu juga dr. Dyah kepada
pokja saya. Serentak bertiga menjawab tidak...”Saya baca komentarnya, kesannya
dr. Dyah ini kok kecewa sekali, marah,” lanjutnya.
Kami
bertiga tetap dalam diam karena tidak tahu harus berkata apa.
(Ahad, 10 Juni
2012 23.33)
Dear
dr. Dyah...
Terbangun
dari tidur yang tak pernah lagi bisa nyenyak sejak episode ini...
Malu
sebenarnya menyampaikan hal ini... Kesemrawutan yang nyaris sempurna...
(Senin, 11 Juni
2012 23.40)
Dear
dr. Dyah...
Sepulang
mengirim buku, saya dibanjiri semangat yang luar biasa dahsyatnya. Tak peduli
menjadi sendiri di pojok ruang karena kedua teman saya pulang awal, target hari
ini saya kebut. Alhamdulillaah....
Dear
dr. Dyah...
Saya
akan menunaikan janji yang diamanahkan kepada saya semampu yang saya bisa
kerjakan. Semaksimal mungkin. Tak peduli lagi, apa hasil yang akan didapatkan. ALLOH
Maha Tahu kehendak-Nya yang lebih baik dari keinginan saya.
Dear
dr. Dyah...
Semangat
itu menjadikan saya mendapatkan kembali sebagian apa yang telah hilang
sebelumnya. Saya baru menyadari bahwa telah begitu lama tak memperhatikan
ikan-ikan di kolam *memaksa saya menyari dedaunan di ujung keremangan senja*. Bisa
menikmati detil lain meskipun sudah berkali-kali nonton Blood Diamond. Bisa
kembali asyik membaca buku... Alhamdulillah Robb-ku, takdir-Mu di atas kehendak-Mu....
(Selasa, 12 Juni
2012 22.18)
Dear
dr. Dyah...
*Kabar yang saya dapat
hari ini membuat saya luruh kembali*
Semakin
jauh saya berjalan di episode ini, rasa syukur saya semakin membuncah. Saya
semakin bisa melihat bahwa ALLOH menghendaki saya memanfaatkan kesempatan di
rumah sakit ini untuk terus belajar dan belajar yang akan membuat saya bisa memahami
esensi sebuah akreditasi. Tak hanya hasil yang harus lulus, tetapi bagaimana
sebuah proses harus berjalan sebagaimana mestinya. InsyaALLAH dr. Dyah, prinsip
akreditasi dan ilmu lain yang saya dapatkan dari sekolah ini akan saya terapkan
pada klinik kecil impian saya. Impian yang menjadi pemicu semangat saya untuk
mau pulang.... Alangkah indahnya takdir ALLOH, segalanya tertata dengan rapi
dan dalam perencanaan yang luar biasa sempurna. Sejak awal.
(Rabu, 13 Juni
2012 22.12)
Dear
dr. Dyah...
Ada
ruginya juga, sebenarnya, menjadi pokja yang dibimbing dr. Dyah. Kini, bila
Ketua Yayasan tidak yakin akan suatu hal, pokja kami diminta meneliti dan
mengoreksinya. Kami dipaksa untuk menjelma menjadi seperti dr. Dyah yang
telitinya luar biasa (kalau Ketua Tim Akreditasi bilang, perfeksionis hehehe....).
Kami menjadi serba salah dengan pokja lain....
Dear
dr. Dyah...
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Bisa
jadi, bila bukan dr. Dyah yang membimbing, kami justru akan semakin tersesat
dalam ketakmengertian kami akan akreditasi – bahkan pada hal yang oleh kami
terlihat sepele dalam detil. Sekarang kami bisa melihatnya dengan jernih
kesalahan-kesalahan pembuatan dokumen. Kini kami dapat “membaca” bagaimana
dokumen harus dipersiapkan dan diimplementasikan. Dan yang terpenting dari
semua itu, saya telah menemukan esensi akreditasi... Inilah sebagian kehendak
ALLOH yang Maha Sempurna itu...
Dear
dr. Dyah...
Jadi
benarlah adanya kesan pertama dr. Dyah saat berhadapan dengan kami, terutama
saya yang selama ini terlalu cinta dengan layanan primer dan dalam waktu kurang
dari 3 bulan diminta mempelajari dan membantu menyiapkan
akreditasi layanan sekunder, bahwa kami belum memahami instrumen akreditasi
dengan baik....
(Sabtu, 16 Juni
2012 22.45)
Dear
dr. Dyah...
Apakah
saya harus bersorak girang, ataukah menangis masygul. Tapi tatkala tadi diberitahu,
jiwa saya semakin luruh...entah untuk alasan apa. Yang pasti, saya semakin
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah. Saya semakin bersyukur bisa belajar
banyak dari segala hal. Saya semakin bersyukur, kehilangan banyak hal itu ALLOH
ganti dengan banyak hal yang lain...
Dear
dr. Dyah...
Dalam
luruh jiwa yang sangat, alhamdulillah, masih bisa tetap tegak karena rasa
syukur...”Ya Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam segala urusan kami.”
(Rabu, 20 Juni
2012 23.01)
Dear
dr. Dyah....
Luruh
itu semakin menghunjam dalam, hingga hampir tak bertepi, ketika apa yang
disampaikan justru membuat saya semakin terhempas gamang.
Haruskah
luruh itu memupus semangat yang telah mulai meredup? Perjalanan episode ini kini
semakin sepi dalam sunyi tatkala bertiga telah mulai terhuyung, meski riuh di
luarnya....*Can you trust the accredited hospitals? Honestly, i don’t think
so... It’s all just about the paperworks... In fact, some hospitals just fake
them in order to get accredited... Sad but true... ( sontak terngiang ujar
seorang teman dalam sebuah diskusi nun jauh di sana )*
Kalaulah
bukan karena janji di atas nama ALLOH......
(Senin, 25 Juni
2012 22.50)
Dear
dr. Dyah...
Hari
ini satu teman saya pulang awal karena batita-nya tidak sehat. Satunya lagi
lesu kehilangan darah kata dan semangat karena beberapa hari ini juga harus
mengurus batita-nya yang sakit. Beginilah ketika harus menjadi perempuan
tangguh.
Jiwa-jiwa
luruh yang tertinggal dalam ruangan itu begitu saja terpompakan semangatnya
ketika menemukan foto-foto saat bimbingan dengan dr. Dyah...
“Tak
mengapa, deh, tak ada e-mail, foto pun jadilah,” gurau saya membangun semangat
diri yang diaminkan teman saya dengan tak kalah sumringahnya.
Subhanallah...
Efeknya luar biasa! Terkikis sudah jenuh yang mulai menggayut diri. Hilang
sudah wajah kuyu tak berdarah kata dan semangat itu!
Dear
dr. Dyah...
Alhamdulillah,
terima kasih telah menjadi teman perjalanan kami hari ini, meski tanpa dr. Dyah
sadari. Inilah kebajikan amal yang dr. Dyah tanam. Semoga kelak di Hari
Pembalasan dr. Dyah dapat memanen buahnya dengan hati riang karena ridho ALLOH
Sang Pemberi Balasan, sebaik-baik pemberi balasan.
(Senin, 2 Juli
2012 23.16)
Dear
dr. Dyah...
Tumbang
juga akhirnya...
Kedua
teman saya tak berdaya menghadapi hantaman common cold. Hari ini terasa semakin
sepi berada di antara berseraknya dokumen. Dan sepi itu semakin menggigit
tatkala ada curhat colongan TS Sp.A baru... Gelisah yang semula telah ada
sedikit penawar, mulai menggeliat lagi...
Dear
dr. Dyah...
Kota
ini laksana dua gunung yang memangkunya. Dilihat dari kejauhan, indah nampak
dalam birunya. Namun dalam kedekatannya, tak semulus nampak dari kejauhannya.
Jurang, tebing, tanjakan terjal, turunan curam, belukar...semua penuh nafas
perjuangan....
Dear
dr. Dyah....
Jadi
teringat sebuah potongan puisi Iqbal,
“ciptakan
tubuh dari sejumput debu
tubuh
yang kuat tinimbang benteng batu
ciptakan
di dalamnya hati yang tabah menanggung rasa sakit
bagaikan
anak sungai yang mengitari lereng-lereng bukit”
Puisi
yang menguntai sebuah doa...
(Rabu 11 Juli
2012 05.35)
Dear
dr. Dyah...
Selesai
sudah amanah itu...
Haruskah
bersorak riang? Entahlah.... Di antara rasa syukur, terselip gelisah jua. Saya
khawatir, bahwa saya telah mulai menjadi katak rebus....
Dear
dr. Dyah...
Rekomendasi
tim surveior itu, tentu, akan saya jadikan sebagai salah satu pertimbangan
dalam memilih setelah episode akreditasi ini “berakhir”... Bukankah telah
semestinya, proseslah yang terpenting, bukan hasil itu sendiri?
Dear
dr. Dyah...
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah. Doakan saya, semoga dapat tetap
istiqomah di jalan takwa. Doakan saya, semoga saya – seperti dr. Dyah lakukan
juga – dapat menghindar dari setiap hal yang menjerumuskan saya dalam
kesalahan. Doakan saya, semoga saya sedang tidak menjadi katak rebus....
( Senin 16 Juli
2012 23.24 )
Dear
dr. Dyah...
Telah
saya temukan jawab mengapa saya merasa begitu dekat dengan dr. Dyah. Pertama, dari
semua, dr. Dyah-lah yang paling “steril” akan rumah sakit ini. Dengan demikian
dapat melihat secara jernih dan obyektif kondisi rumah sakit ini. Kedua, apa yang direkomendasikan dr. Dyah memudahkan
urusan saya. Terutama tentang WB. Ketiga, ini alasan personal, dr. Dyah mengingatkan
saya pada dua sosok sahabat saya sekaligus.
Dear
dr. Dyah...
Untuk
jiwa yang selalu gelisah dan banyak kehilangan, hal itu menjadi hadiah terindah
dari ALLOH yang Maha Sempurna setiap detil rencana dan kehendak-Nya.
Dear
dr. Dyah...
Jazakumullah
khairan katsiran, semoga ALLOH membalas kebaikan yang dr. Dyah tanam dengan
lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dear
dr. Dyah....
Teruslah
dan tetaplah lurus istiqomah di jalan takwa. Semoga setiap langkah dan helaan
nafas dr. Dyah menjadi rangkaian anak tangga menuju surga, dan setiap tetes peluh
menjadi untaian mutiara-Nya. Aamiin ya ALLOH ya mujibussailiin.
(Selasa 31 Juli
2012 22.52)
Dear
dr. Dyah...
Siang
hendak pulang tadi, Ketua Tim Akreditasi memberikan berita di bawah anak
tangga, bahwa telah ada kabar dari Jakarta rumah sakit ini lulus akreditasi.
Saya berbalik arah tak jadi pulang sepeninggal beliau, menemui teman saya.
“Alhamdulillah, lega rasanya seperti orang habis melahirkan,” ujarnya menyambut
kabar itu.
Dear
dr. Dyah...
Bagi
saya, hanya satu alasan yang membuat saya lega dengan kelulusan itu, bisa
meninggalkan rumah sakit ini dengan langkah ringan... Hanya itu... Selebihnya,
jujur di paling dalam sanubari, gelisah saya kian menjadi....
Kamis, 27 September 2012
ASA
Setelah beberapa langkah menuju, bukan pada perjalanan semula, semakin kuyakin bahwa mempunyai klinik sendiri adalah hal yang paling ideal untuk jiwa yang masih senantiasa gelisah ini.
Hijrah adalah menuju perbaikan, bukan?
Untuk apa kalau langkahku kembali seperti semula, pada titik awal pijakan?
*dan, semakin yakin aku bahwa sebaik apapun di situ, bukan itu duniaku.
*setiap warta yang mengabarkan bahwa kiriman yang menuju padanya justru membuatnya bingung dan puyeng, semakin aku yakin bahwa bukan di situ duniaku...semoga semua itu adalah sinyal-sinyal dari Allah agar aku kembali ke niat semula. Kembali ke dunia yang telah menjadi bagian jiwaku. Bukan di situ tempatku. Karena tempat itu semakin menjauhkanku dari segala yang kusuka, dari hal yang kusayang, dari udara yang kuhirup sekuat jiwa, dan dari dunia yang kupijak dengan cinta.
*catatan kecil yang tercecer di jeda perjalanan akreditasi Maret - Juli 2012*
Hijrah adalah menuju perbaikan, bukan?
Untuk apa kalau langkahku kembali seperti semula, pada titik awal pijakan?
*dan, semakin yakin aku bahwa sebaik apapun di situ, bukan itu duniaku.
*setiap warta yang mengabarkan bahwa kiriman yang menuju padanya justru membuatnya bingung dan puyeng, semakin aku yakin bahwa bukan di situ duniaku...semoga semua itu adalah sinyal-sinyal dari Allah agar aku kembali ke niat semula. Kembali ke dunia yang telah menjadi bagian jiwaku. Bukan di situ tempatku. Karena tempat itu semakin menjauhkanku dari segala yang kusuka, dari hal yang kusayang, dari udara yang kuhirup sekuat jiwa, dan dari dunia yang kupijak dengan cinta.
*catatan kecil yang tercecer di jeda perjalanan akreditasi Maret - Juli 2012*
Jumat, 31 Agustus 2012
KEHILANGAN
Ahad ini kembali kutemukan indahnya hari. Mengikuti kegiatan teman-teman UDD ke Desa Bener, Kepil memberikan kesejukan bagi jiwa yang mulai gelisah. Semilirnya angin dalam perjalanan menuju dan dari desa itu meluruhkan penat yang menggumpal di sanubari. Puncak kepenatan itu adalah balasan sms yang tidak seperti aku harapkan semalam.. "biasanya kalau saya kirim dokumen langsung aja tuh"... aku yakin sepertinya ada yang tidak terjelaskan. Ketika kutanyakan kepada suami tentang hal itu, dia menjawabnya persis sama dengan apa yang kubayangkan... Ah, biarlah itu terselesaikan besok, insya Allah... Aku tak hendak lagi membawa soal itu ke kehidupan rumahku. Kucoba, kucoba, kucoba...meski terasa berat....
Aku telah kehilangan banyak hal selama proses ini berlangsung. Andai bukan karena telah telanjur janji, ingin kusegera mengakhirinya. Berkali-kali nuraniku berkata, bukan di situ tempatku. Bukan itu duniaku.... Layanan primerlah nafas profesiku.Aku sangat menikmati hari Ahadku ini. Aku sangat menyukai waktuku saat tadi. Detik ke detik yang menghimpun waktu, terasa nikmatnya. Meski terselip rasa was-was, kalau-kalau hal yang tak diharapkan terjadi. Alhamdulillaah, Allah memudahkan segala urusanku seperti yang kupinta. Ya Allah Ya Rabb, jadikan langkahku tadi sebagai salah satu penyusun tangga menuju surga-Mu....
Aku sangat menikmati hari Ahadku ini. Menyembuhkan luka, kecewa, dan gelisah. Menumbuhkan energi yang nyaris habis tergerus gundah. Terlalu seriuskah diriku?
Aku menikmati hari Ahadku ini. Sama seperti Ahad sepekan lalu, ketika aku menyusuri Dukuh Jambon, Sojopuro. Meskipun hal yang paling kubenci harus menemaniku: tumbuhnya tunas-tunas pohon tembakau hampir memenuhi sebagian besar perjalananku. Tapi, itulah perjalanan pengobat, hingga sedih karena banyak salah saat bimbingan sehari sebelumnya menguap tak bersisa.
Di Jambon, aku baru tahu bahwa untuk sabun cuci dibeli dengan kredit pada harga yang berlipat-lipat. Sabun telah habis terpakai, hutang belum lunas. Dan begitu daur berulang. Semakin menumpuk hutang, karena sabun menjadi kebutuhan pokok harian mereka.
Aku menikmati hari Ahadku lalu. Pada para ibu muda yang bersemangat mengubah segala. Semangat itu menular kepada jiwaku yang mulai kehilangan banyak hal. Dan, semakin menggebu memeluk jiwa saat pompa semangat sapu lidi koperasi yang kuhembuskan disambutnya dengan gempita. Allah, Rabbku, mudahkan segala soal ketika aku telah kehilangan banyak hal.
Aku menikmati hari Ahadku ini. Sama seperti hari Ahadku sepekan lalu. Aku menemukan kembali apa yang telah hilang beberapa bulan ini, di kedua hari Ahad terakhir ini.
Aku menikmati hari Ahadku ini. Sama seperti hari Ahadku sepekan lalu. Energiku kembali tumbuh, setelah sempat luruh tersapu. Lihatlah ibu-ibu perkasa itu. Meski tubuh telah menghimpun begitu banyak usia, tetapi semangat tak pernah pudar. Kehilangan, justru menumbuhkan kebahagiaan jiwa. Kehilangan menjadi sebab tumbuhnya kesabaran. Kehilangan menjadikan mata jiwa semakin bercahaya...
Aku memang telah banyak kehilangan. Pada segala hal. Tetapi, aku menikmati hari Ahadku ini dengan suka cita. Sebuah Ahad, di 27 Mei 2012.....
Langganan:
Postingan (Atom)