Jumat, 16 Desember 2011

WIWIK

Sampai sekarang aku tidak pernah tahu nama lengkapnya. Padahal dia adalah sahabat akrab masa kecilku. Sangat, sangat akrab. Meski dia satu tingkat di atas kelasku, nyaris tiada hari tanpa aku dan dia bermain bersama. Bahkan tidur pun lebih sering bersama. Kadang di rumahku, sesekali di rumahnya. Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah dinas orangtuaku.

Dia anak orang paling kaya di kampungku, Ngebrak.

Halaman rumahnya dipenuhi berbagai macam bunga. Ada satu pohon bunga yang jadi incaranku dan teman-teman lain sebagai bunga idola. Bunga itu jarang berkembang. Harumnya saat mekar terasa lembut. Berbeda dengan harumnya mawar ataupun melati yang tajam. Kelopak luarnya saat masih kuncup warnanya ungu kemerahan. Kelopak dalamnya, bila mekar, berwarna kuning pastel. Kami menyebutnya bunga cempoko boros.

Ada satu kejadian yang tidak terlupakan berkaitan dengan bunga satu ini. Waktu itu giliran kepemilikan telah aku proklamirkan. Tidak sia-sia rasanya setiap pagi sebelum mandi, hampir sebulan lamanya, selalu kusempatkan untuk melihat-lihat bila kembang idola itu menampakkan putik bunganya. Dan, yang membuatku girang tak kepalang, di luar kebiasaannya yang bila berbunga hanya memberikan satu bunga dalam satu tangkai. Ini empat putik bunga sekaligus dalam satu tangkai! Itu sebabnya, kugantungkan sebuah tulisan berisi maklumat akulah sang pemilik empat putik bunga itu.

Suatu hari, seorang ibu tetangga kami mengalami "kesurupan". Sebenarnya kami tidak heran dengan kejadian itu, karena ibu itu sudah terlalu sering "kesurupan". Biasanya "kesurupan"nya itu akan hilang setelah permintaannya dituruti. Padahal permintaannya sering membuat bergidik. Pecahan kaca, pecahan piring - gelas, pecahan genteng. Semua itu akan dimakannya dengan lahap tanpa bersisa. Seperti biasa bila "kesurupan", ibu itu naik ke para-para rumah. Menari-nari di atas sebilah kayu kuda-kuda atap rumah. Dan selalu, orang-orang yang melihatnya ramai berteriak menyuruhnya turun. Ibu itu bergeming. Tetap melenggak-lenggokkan tubuhnya sambil berjalan dari ujung bilah kayu ke ujung yang lain sembari nembang. Dan di ujung bilah kayu, ibu itu membalikkan tubuhnya dengan putaran tubuh yang sangat cepat. Semakin orang keras berteriak, semakin menggila tingkah ibu itu. Dan ibu itu mengancam akan melompat dari ketinggian para-para bila ada yang mencoba naik untuk menurunkannya. Hampir seharian ibu itu di atas para-para sambil terus menari-nari. Bila sudah kelelahan, ibu itu akan duduk di bilah kayu itu dengan kaki menjuntai sambil terus nembang. Saat itulah, tawaran keinginannya diajukan. Sore itu ibu itu mau turun asal dicarikan bunga cempoko boros. Teman-temanku sontak bersorak kegirangan sambil menatapku penuh kemenangan. Hanya rumahnya Wiwik, satu-satunya di kampungku yang mempunyai pohon bunga cempoko boros. Aku terhempas dalam kesedihan yang luar biasa melihat ibu itu memakan dengan lahapnya kembang cempoko borosku. Dan, semakin menghunjam menusuk hati rasa sedih itu karena tidak ada satu pun orang dewasa yang memahami rasa kehilanganku.

Di sisi lain halaman rumahnya. Persis di sebelah jendela kamar tidurku, tumbuh pohon jeruk Bali. Bila berbuah, sebagian buahnya menjuntai ke rumahku. Dan kami sering iseng nyonggrok dengan galah dari jendela kamar tidurku. Pak Dhe, begitu aku memanggil bapaknya, pasti hanya memelototkan mata tanda marah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun bila kebetulan memergoki keisengan kami berdua. Kami hanya nyengir, meskipun tahu bersalah tetapi berlagak tidak bersalah. Kalau Pak Dhe sudah berlalu, keisengan yang sempat terhenti dilanjutkan kembali hingga berjatuhan beberapa buah jeruk. Perkerjaan yang sangat sia-sia karena jeruk itu tentu belum bisa dimakan. Kami hanya suka mengamati pola buah jeruk itu saat diiris tipis-tipis, seperti kue kering kalengan.

Di bawah pohon jeruk itulah, aku dan Wiwik merayakan sya'banan.
Setiap bulan Sya'ban, sebulan sebelum Ramadhan, kami - para anak-anak di kampung kami - membuat gubuk jerami secara berkelompok. Biasanya, sih, berkelompok berdasarkan persahabatan yang terjalin. Aku selalu membuat gubuk itu bersama Wiwik. Selama hampir sebulan kami berumah dan melakukan aktivitas layaknya seperti di rumah, di dalam gubuk itu. Memasak, belajar, dan tidur di gubuk itu. Pulang ke rumah hanya bila waktu mandi tiba. Di malam hari, setelah sholat Isa berjamaah di tempat Pak Anas, guru mengaji kami, kami saling berkunjung ke gubuk para tetangga kami yang bertebaran di halaman sekitar rumah kami untuk sekadar saling bertamu dan bertukar hasil masakan kami. Sambil bercerita ramai layaknya orangtua-orangtua kami bila sedang kenduri berkumpul bersama. Sebuah pesta gubuk yang meriah dan mewah. Bila malam purnama tiba, sepakat para penghuni semua gubuk berkumpul di depan salah satu gubuk yang mempunyai halaman paling luas. Di arena itulah kami menghabiskan malam purnama. Biasanya, Pak Anas memanfaatkan momentum itu untuk memberikan nasehat-nasehat tanpa menggurui, tetapi dengan media dongeng yang membuat kami dapat selalu terpukau. Pak Anas, selain pandai mengajarkan mengaji, juga seorang pendongeng ulung. Setelah dewasa aku baru tahu, bahwa materi dongengnya sebagian besar diambil dari kisah para Sahabat Nabi. Selesai acara, kami pulang ke gubuk kami masing-masing, dan kemudian Surah Yasin terdengar dari masing-masing gubuk. Kami membaca Surah Yasin di gubuk dengan penerangan lampu teplok. Kami membaca Surah Yasin karena kata Pak Anas, di malam tanggal 15 Sya'ban itulah takdir kami setahun ke depan ditetapkan. Dengan membaca Surah Yasin sebagai pengantar doa, kami berharap takdir yang ditetapkan untuk kami adalah takdir baik.

Perkampungan gubuk itu akan berakhir tiga hari menjelang Ramadhan. Kami akan membongkar gubuk kami dengan perasaan sedih kehilangan. Dan, mengenang sya'banan masa kecilku, selalu membuatku terhempas ke dalam nestapa karena aku tidak bisa menghadirkan kemewahan itu kepada kedua anakku. Mereka terpenjara di tembok kota metropolitan. Sehari penuh terkungkung di balik riuhnya sekolah. Berangkat pagi buta, pulang saat senja telah tenggelam, dan malamnya tidur kelelahan. Sementara, tidak ada satu pun halaman rumah di komplek kami yang bisa dipakai untuk mendirikan hatta hanya sebuah gubuk. Bila tidak karena sempitnya halaman, seperti rumah kami, ya karena halaman itu lebih bermanfaat untuk memarkir beberapa mobil. Maafkan ibumu, Nak, yang telah merampas keceriaan masa kanakmu. Tetapi, di balik tembok sekolahmu lebih baik kiranya bagi ibu daripada riuhnya mall dan pikuknya jalanan metropolitan. Penyesalan selalu datang di belakang....

Kebun Pak Dhe luas. Dipenuhi bermacam-macam pepohonan. Sebut segala macam buah, hampir dipastikan ada di dalam kebunnya yang luas itu, yang ada di sisi lain dari rumahnya. Aku dan Wiwik mempunyai sebuah pohon favorit. Pohon jambu biji yang mempunyai banyak cabang, dan sangat mudah untuk dipanjat. Cabang-cabangnya hampir rebah semua, tidak menjulang ke atas, sehingga sangat nyaman untuk dijadikan tempat duduk-duduk atau bahkan rebahan. Kami berdua membagi pohon itu menjadi dua wilayah teritorial. Separo sebelah timur menjadi milikku, separo sebelah barat adalah miliknya. Setiap sepulang sekolah kami langsung menuju "rumah pohon" kami itu. Terkadang hanya untuk duduk-duduk sambil membaca buku cerita anak berbahasa Jawa, buku cerita satu-satunya yang aku punya pemberian seorang pak dheku, "Kuncung lan Bawuk". Meski telah dibaca berpuluh-puluh kali sampai bukunya kumel, kami tidak pernah merasa bosan mengulangnya. Dan sesekali membawa peralatan untuk rujakan, yaitu cobek dan ulekan. Buahnya terdiri dari jambu biji yang langsung kami petik di atas kepala kami ( serasa berada di dalam surga, yang sering Pak Anas kisahkan bahwa di surga nanti, bila ingin buah - apapun buah itu - tinggal memetiknya di atas kepala), mengkudu, pepaya muda, petai cina, dan babal ( Itu, tuh, bunga buah nangka). Sambil menahan rasa pedas rujak di mulut, kami berceloteh tak habis-habisnya. Menceritakan pengalaman selama sekolah. Bahkan, sering pula kami mengadakan "pesta" di atas pohon jambu itu. Yaitu, membawa aneka penganan dan limun dari rumah. Kami baru turun dari pohon bila mendengar teriakan Yu Bikem, pengasuh adikku, menyuruhku pulang untuk mandi sambil ngomel-ngomel. Itu tandanya hari telah menjelang senja. Barulah saat itu, kami merasakan rasa gatal menjalar di seluruh tubuh. Tubuh kami telah penuh dengan bekas gigitan nyamuk kebun.

Ada satu lokasi rahasia kami di kebun itu bila Ramadhan datang. Waktu itu aku kelas 3 SD, belum kuat untuk berpuasa sampai maghrib tapi tergiur dengan iming-iming baju baru yang banyak saat lebaran nanti. Jadi, sering aku dan Wiwik berpura-pura berpuasa penuh sampai maghrib, padahal sebenarnya tidak. Siang hari ketika orang-orang terbuai dalam istirahat tidur siangnya, kami bergerilya membawa makanan yang kami bawa dalam tlekem, tempat nasi atau bisa juga untuk tempat penganan yang terbuat dari janur yang dianyam. Bentuknya kotak seperti kotak dari bahan kertas daur ulang yang sekarang banyak di jual di toko-toko. Berhasil membawa tlekem yang penuh dengan menu makan siang, sisa menu sahur, kami terbirit berlari menuju kebun. Jugangan besar di kebun lah yang menjadi tujuan kami. Lubang yang dibuat untuk mengumpulkan sampah sebelum nantinya setelah sampah itu banyak ditimbun dengan tanah dijadikan kompos. Kotor dan banyak cacing, tentu. Tapi kami tutupi area itu dengan daun-daun kering yang banyak terkumpul di sudut jugangan, hasil Pak Dhe menyapu kebun. Kemudian kami makan dengan tenang, karena saking besarnya jugangan yang dibuat Pak Dhe menyebabkan kami, tubuh-tubuh kecil ini tidak akan terlihat orang yang banyak berlalu-lalang di luar pagar kebun. Setelah kenyang, kami tinggalkan tlekem itu di jugangan dan kami melenggang keluar dengan tertawa-tawa puas. Pulang ke rumah sebelum orang-orang bangun dari tidurnya, dan kami ikut ( pura-pura ) tidur siang. Bangun dengan menunjukkan wajah lesu karena berpuasa. Tentu saja tanpa merasa berdosa. Kami belum bisa benar-benar memahami kata-kata Pak Anas bahwa Allah Maha Mengawasi dan segala tingkah kita dicatat dengan teliti oleh dua malaikat yang selalu menempel di kedua pundak kita. Rasanya, itulah satu-satunya "kenakalan" kami yang luar biasa nakal.

Kolam ikan Pak Dhe luas. Seluas lapangan futsal. Isinya berbagai jenis ikan. Dari yang kecil-kecil sampai yang sebesar paha orang dewasa ada di kolam itu. Ada ikan Bandung yang warnanya meriah. Putih, merah, jingga. Kami menyebutnya ikan Bandung untuk sebutan ikan mas. Kata orang di kampung kami, karena ikan itu berasal dari Bandung. Ada ikan melem yang berwarna hitam dengan sisik halus. Aku senang dengan ikan melem ini, karena telurnya yang memenuhi seluruh rongga perut betinanya sungguh nikmat bila dimasak. Tetapi, dari semua ikan yang ada di kolam itu, ikan kalper-lah yang jadi ikan kesukaanku. Aku senang berlama-lama duduk di pinggir kolam itu, berteduh di bawah rimbunnya pohon markisa yang menjulur memenuhi anjang-anjang dari bambu, memperhatikan si cantik berwarna hitam dengan garis kuning kuat di punggungnya itu lincah menari-nari. Paling gesit gerakannya di antara para ikan penghuni kolam itu.

Di rumahku juga ada kolam. Tapi tidak sebesar kolam Pak Dhe. Dan kolam rumahku hanya berpenghuni ikan mujahir berwarna hitam kelabu yang rakus-rakus. Jadi aku lebih senang duduk-duduk di tepi kolam ikan Pak Dhe. Yu Bikem, yang telah menjadi ibu keduaku, jarang kesulitan mencariku. Bila tidak di atas pohon jambu biji, ya di pinggir kolam Pak Dhe ini. Aku akan tidak bisa dicari Yu Bikem bila acara mingguan tiba.

Setiap Minggu pagi, aku, Wiwik, dan beberapa teman lain telah melesat keluar rumah sambil membawa irig, seser, atau peralatan menangkap ikan lainnya untuk menyusuri kalen yang banyak bertebaran di sekitar desa kami. Tiada hari Minggu tanpa kegiatan pirig. Mencari ikan. Favorit kami adalah kalen Siwedhi karena paling banyak ikannya. Sayangnya, kalen ini menjulur membelah persawahan yang jauh dari rumah hingga keluar sampai desa tetangga. Sebenarnya, ikan yang kami peroleh tidak seberapa. Dan sudah dipastikan tidak bisa memenuhi quota untuk dimasak. Malah, yang sering terjadi, kami hanya mendapat ikan dalam hitungan jari tangan banyaknya. Itu pun hanya ikan bokol, uceng, dan gondhok yang kecil-kecil. Tetapi, keasyikan menyusuri kalen menimbulkan sensasi petualangan yang luar biasa. Bila lapar mendera, kami akan bergerilya nyiwil, yaitu mencari tanaman ubi jalar liar di lereng-lereng bukit tepi kalen, atau di pematang-pematang sawah. Karena pengalaman panjang, kami tidak pernah merasa sedikitpun kesulitan menentukan siwil yang berumbi atau tidak. Tanaman itu akan diketahui berumbi bila di ujung cabutan, batangnya membesar menunjukkan patahan ujung umbi. Bila tidak berumbi, batang tanaman akan lurus langsing tak membesar di ujungnya. Menyusuri kira-kira arah letak umbi juga hal yang sangat mengasyikkan. Ubi mentah yang kami peroleh itu kami makan setelah dicuci di kalen yang airnya masih jernih dijamin belum terkontaminasi polusi. Rasa ubi siwil selalu manis. Untuk perut yang keroncongan lapar, nikmatnya luar biasa. Sedangkan untuk minumnya cukup menyiduk air tuk yang banyak ditemukan di kaki perbukitan yang menjadi salah satu sisi kalen. Kami tidak menjadi sakit perut dengan memakan ubi mentah dan meminum air tuk itu. Tentu saja, pakaian kami sangat kotor karena hampir seluruh permukaannya tertutup tanah hitam kelabu lendut sawah yang bercampur tanah merah perbukitan. Meskipun setiap sorenya sepulang pirig ibuku - bila ada di rumah - atau Yu Bikem memarahiku, aku tidak pernah jera pirig.

Ini juga sebuah kemewahan yang tidak bisa aku berikan kepada kedua anakku. Karena masa kanak mereka lebih banyak berada di belantara hutan buatan yang berada di layar monitor komputer. Hanya sesekali aku dan suamiku membawa mereka menyusuri kalen dan persawahan di pinggiran kampung sekitar komplek rumah kami. Sudah tentu tak ada ikan yang bisa dipirig di kalen itu, karena kalen itu telah berubah fungsi menjadi selokan mampet berwarna hitam pekat dengan hiasan buih deterjen rumahtangga memenuhi permukaan airnya. Pernah suatu ketika suamiku membiarkan rasa penasaran anakku yang ingin jalan menggiring bola di atas selokan mampet itu. Hasilnya, sampai di rumah kedua kakinya penuh dengan ruam merah alergi, yang membuat berhari-hari tidak bisa tidur nyenyak karena sibuk menggaruk kedua kakinya itu. Apalagi untuk mengajarkan nyiwil. Mimpi kali, ya?

Kini, kami telah pulang ke kampung halaman. Aku dibuatnya terkesima. Kalen Siwedhi tak ada lagi. Bersama kedhung Munggang telah berubah wajah menjadi komplek perumahan. Dan julurannya yang ke arah selatan telah berubah menjadi asrama mahasiswa sebuah perguruan tinggi. Ya, lapangan bola di mana dulu kami bermain kasti telah berubah menjadi komplek perguruan tinggi. Kampung halaman kami, yang dulu sepi begitu jauhnya dari ibukota kabupaten, kini telah gemerlap oleh semaraknya kehidupan kampus. Kehidupan perekonomian ikut menggeliat bersama dengan semakin berkembangnya perguruan tinggi tersebut. Kampung kami telah berubah menjadi kota kecil. Inilah hidup, yang selalu bergerak mengikuti zamannya.

Tak ada lagi kutemukan anak-anak yang berkecipak di kalen, riuh berebut pirig, meskipun airnya masih sejernih seperti yang aku kenal dan ikan bokol, uceng, gondhok juga masih sebanyak dahulu. Tak ada lagi anak-anak yang riang menyusuri pematang sawah untuk hanya sekadar mencari kluban sawah, atau keong sawah untuk bekal menunggu waktu berbuka puasa. Tak ada lagi anak-anak yang asyik berumah pohon. Tak kulihat lagi semua itu di kampung kami. Permainan dan gaya kehidupan modern telah merampas kehidupan masa kanak-kanak mereka untuk dekat dan kenal dengan alam lingkungan . Padahal, bukankah tak kenal maka tak sayang?

Aku masih layak bersyukur, masih bisa membawa kedua anakku menapaktilas keceriaan masa kecil ibunya. Meskipun hanya di halaman rumah kami yang belum jadi, aku telah berhasil menujukkan asyiknya nyiwil. Alhamdulillah, meskipun awalnya sambil berwajah "Kami disuruh mencoba zaman primitif? Yang benar saja, Ibu?" lidah mereka bisa menikmati ubi siwil. Alhamdulillah, anakku masih bisa merasakan indahnya memetik ucen, ciplukan dan ranti, meski kami harus mengajaknya jauh ke pelosok desa di lereng gunung Sindoro. Dan yang paling menggembirakan bagi mereka adalah saat pertama kali melihat beberapa kunang-kunang - yang seumur-umur mereka bahkan untuk hanya membayangkan rupa bentuknya pun sangat sulit - berkeliaran terbang di belakang rumah kami. Aku bersyukur, meski mereka telah beranjak remaja, tapi masih bisa merasakan sedikit keceriaan anak-anak. Keceriaan yang murah, tetapi sangat istimewa. Seistimewa hidup ini.

Wik, terima kasih atas kenangan indah di masa kecil kita....