Minggu, 14 Agustus 2011

ASIH

Inilah kisah kelam perjalanan berpraktikku...

Wajah putihnya yang berhiaskan tahi lalat di ujung bibir kanannya selalu menunjukkan sendu. Bahkan saat dia sedang tertawa riang.

Di awal pertemuan dia mengeluhkan nyeri kepala sebelah kanan. Hampir dua tahun lalu. Karena dari hasil pemeriksaan fisik tidak kutemukan adanya kelainan, waktu itu aku hanya memberikan pereda rasa sakit. Kontrol pertama setelah pemberian obat itu, dia bilang enakan bisa tidur. Tetapi aku mulai meragukannya ketika kunjungan berobatnya semakin sering dan obat yang diperlukan untuk meredakan nyerinya itu harus ditambah dosisnya.

Empat bulan tak ada perbaikan berarti, aku menyarankan untuk konsultasi ke spesialis syaraf. Dia menolak. Kuulang pemeriksaan dari awal. Mata, telinga, mulut, tak juga kutemukan kelainan yang bisa menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala. Masuklah aku ke diagnosis "keranjang sampah", psikosomatis.
Selama pernikahannya yang memasuki tahun ke empatbelas, dia tinggal di rumah mertuanya. Bersama-sama dengan para iparnya yang empat orang itu, ditambah dengan para istri atau suami masing-masing. Belum lagi para keluarga kecil itu masing-masing mempunyai anak, paling tidak dua. Sementara suaminya bekerja di Jakarta, pulang dua pekan sekali ketika hari liburnya jatuh di hari Minggu. Sedangkan dia di sini tidak mempunyai saudara ataupun kerabat, karena keluarga besarnya ada nun jauh di ujung Pelabuhan Ratu sana.
Dan setelah sekian lama berkutat dengan diagnosis keranjang sampah itu, rasa penasaran mulai menjalari lekuk liku isi kepalaku. Aku mulai dihinggapi rasa ragu dengan diagnosis keranjang sampah yang kubuat sendiri itu.

"Apa tidak sebaiknya Ibu ikut suami saja ke Jakarta?"

Wajah sendu itu tersenyum. "Tidak, Dok. Kasihan anak-anak. Sekolahnya bagaimana nanti? Di Jakarta tentu sulit dan biayanya pasti lebih mahal dari sini"

Aku menghela nafas. Menyari ruang dada agar lebih lapang.

"Kalau begitu, Ibu mau, ya, saya rujuk ke spesialis syaraf agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut? Insya Allah tidak ada tambahan biaya, Bu."

Wajah sendu putihnya terpekur agak lama, sebelum akhirnya berkata, "Nunggu awal bulan, boleh, kan, Dok? Nunggu suami gajian. Meski tidak ada biaya tambahan, kan, tetap memerlukan uang transport, meureun?"

"Siiippp... Oke, insya Allah awal bulan, ya?"

Hampir satu tahun kemudian, pada saat aku telah melupakan sosoknya, tiba-tiba dia muncul kembali di ruang praktik dituntun ibu mertuanya. Sontak aku terkejut tak kepalang.

"Maaf, Dok.. Mata kanan saya tidak bisa melihat," ujarnya dengan sesungging senyum. Seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku.
"Maaf juga, ya, Dok, lama tidak berobat. Tidak ada yang bisa mengantar." Dia memberikan senyum yang masih sama dengan senyum yang kukenal selama ini. Sementara aku? Aku masih tergugu kelu tak mampu berucap apa-apa.

Dia kemudian berkisah. Sejak dua bulan lalu mata kanannya makin meredup hingga benar-benar tidak dapat untuk melihat. Nyeri kepala semakin menghebat, menyebabkan dia seakan lumpuh. Tak bisa beranjak dari tempat tidur.

Sekarang akulah yang lumpuh! Seluruh tulang serasa dilolosi dari tubuh. Bodohnya diriku... Mengapa tidak terbersit sedikitpun arah diagnosis menuju yang satu itu? Tak mampu kutahan, airmata telah menyusuri kedua pipiku meluncur jatuh ke pangkuanku. Ah, lupa sudah ajaran guru dan seniorku, bahwa tak boleh memperlihatkan tangis di depan pasien. Empati...Empati...Empati... Rasa yang ada liar menabrak-nabrak dinding sanubari tanpa mampu kukendalikan. Telah sering aku merasa menjadi seorang dokter yang bodoh, dan inilah kali pertama aku merasa sangat-sangat bodoh.

"Maafkan saya, Bu," ujarku mencoba mengalahkan rasa liar itu. "Saya abai terhadap kemungkinan ini."

"Kenapa, Dok?"

Lidahku kelu. "Ibu saya rujuk ke spesialis syaraf kembali, ya? Biar dilakukan CT-Scan, yaitu pemeriksaan foto kepala selapis demi selapis sehingga akan dihasilkan foto bagian kepala dengan lebih detil."

Kesunyian sesaat menyelimuti ruang periksa, sebelumn akhirnya ibu mertuanya berkata. "Harus, ya, Dok? Memangnya sakit apa anak saya, Dok?"

"Iya, Bu." Aku berusaha keras menguasai perasaan yang hendak memberontak liar kembali. "Maaf, ya, Bu, ini salah saya. Saya terlalu abai mengarah ke kemungkinan penyakit ini. Kemungkinan, yang menimbulkan nyeri di kepala Bu Asih, dan yang sekarang menyebabkan mata kanan tidak bisa melihat adalah adanya tumor di dalam kepala. Untuk memastikan betul tidaknya, salah satu caranya adalah dengan pemeriksaan CT-Scan. Insya Allah pemeriksaan ini ditanggung asuransi, kok, Bu."

Asih dan ibu mertuanya saling pandang. Berdialog dengan mata yang tak lagi lengkap bisa melihat.

"Baiklah, Dok. Bagaimana baiknya menurut Dokter saja," Asih mengalihkan pandangannya kepadaku.

***

Beberapa bulan sejak itu, aku galau dengan profesiku. Rasa bersalah tak mau juga enyah. Sosok Bu Asih menari-nari di seluruh ruang benakku, meskipun berkali-kali Bu Asih berkata padaku "Tidak apa-apa, Dok. Tidak apa-apa." setiap aku menyampaikan penyesalanku.

Benar, ternyata ada tumor yang mendesak otaknya dan menekan syaraf mata.
Sebulan lalu telah diangkat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hanya sebagian kecil biaya operasi itu yang ditanggung asuransi.

"Suami hampir pingsan, Dok, ketika harus membayar kekurangannya yang dua belas juta. Soalnya dia hanya membawa uang lima ratus ribu," ujarnya dengan senyum yang itu-itu juga.

"Alhamdulillah, Dok, pihak rumah sakit baik banget. Suami hanya diminta tandatangan kesanggupan mengangsur tiap bulan dengan besar angsuran terserah sampai hutang lunas," sambungnya ketika menyadari aku terdiam lama.

***

Dan inilah Asih yang sekarang. Sejak operasi pengangkatan tumor itu, kedua matanya tak dapat lagi melihat. Tapi, Asih telah berubah menjadi perempuan perkasa. Wajah sendunya menghilang. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk belajar dengan dunia barunya yang gelap. Dunianya memang gelap, tetapi tidak dengan hatinya. Keikhlasannya menuntun dirinya menjadi perempuan luar biasa.

Meringankan beban suaminya, dia berjualan makanan kecil-kecilan. Dengan dunia barunya dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Allah mengambil satu bagian darinya, tetapi memberi kelebihan bagian yang lain. Hal yang nampak buruk di mata kita, belum tentu benar-benar buruk bagi kita.

"Jangan takut salah, Dok. Yang penting, berani belajar dari kesalahan. Apa yang terjadi pada diri saya memang sudah suratan Yang Maha Kuasa, bukan kesalahan Dokter."

Hari ini, aku belajar banyak dari seorang pasien yang bernama Asih.