Senin, 24 Maret 2014

TUSAERI

Baru sekali itu aku bertemu. Belum mengenalnya. Menelusuri perjalanan panjang kemanusiaannya membuatku sangat malu.

12 Desember 1986. Aku kuliah semester III. Tusaeri pertama kali mendonorkan darahnya. Kemanusiaan itu terus mengalir seperti aliran sungai yang jernih mengikuti arus. Tanpa pernah jeda, jadwal donor selalu berhasil ia lalui.

Rumahnya berada di ujung sebuah dukuh, di kaki pegunungan Dieng. Sangat sederhana. Berdinding papan, berlantaikan tanah yang ditutup karpet plastik seadanya. Ruangan rumah sempit itu harus dibagi rata untuk istri, dua anaknya, empat ekor kambing tabungan biaya sekolah anaknya, dan beberapa ekor ayam yang disiapkan untuk menjamu tamu atau untuk hari-hari istimewa lainnya.

"Apa rahasianya,Pak?"
Tersenyum tipis sebelum menjawab. Sambil (maaf, inilah satu-satunya yang mengganjal benakku) menyulut sebatang rokok yang sejak tadi telah siap di jepitan kedua jari tangan kirinya. "Selalu bersyukur. Kesehatan yang kita punyai adalah kekayaan kita yang paling mahal."

"Hanya itu, Pak?"
Kembali dia tersenyum. Dan mengangguk. "Hanya dengan bersyukurlah kita akan selalu merasa kaya."

Tusaeri, seorang buruh pikul pasar, telah lebih seratus kali donor darah. Setiap mendonorkan darahnya dia harus mengeluarkan ongkos naik mikrobus sebesar penghasilannya sehari. 

Tusaeri, menjadi seorang yang sangat istimewa bagiku. Dalam kebersahajaannya tersimpan energi semangat berbagi yang luar biasa. Dan semangat berbagi itulah yang membuatnya bahagia. Dan bagi Tusaeri, apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa saja.