Senin, 19 September 2011

TIADA YANG ABADI

Seperti judul lagunya Petterpan saja....!
Tapi ini soal sangat serius...Hari ini aku dibuat terkesiap, gemetar, merinding, yang menyebabkan hilangnya segala nafsu kesenangan.

Ketika aku sedang menerjang batas cakrawala, menyoba bersama para sahabat yang sedang berktakziah mbak Yungky, sebuah sms mengisi handphone-ku "Assalam ukhtifillah...kaifa haluki? Say aku mau minta tolong nih, tapi gak buru2 lho. BIKININ AKU PUISI DONK. judulnya "TIADA YG ABADI" intinya: kekuatan, kecantikan, kepintaran, kekayaan, jabatan kan hilang dengan kembalinya kita pada SANG PENCIPTA. yang tinggal hanya kebaikan pada sesama (jika ada dan banyak) Jazakillah ya"

Aku terjerembab jatuh dalam nestapa. Keindahan pagi yang berselimut halimun raib seketika. Tiada yang abadi...
Keinginan mempercantik tampilan rumah, menata seluruh ruang yang ada supaya seperti yang ada dalam sebuah tabloid property yang baru aku baca, beterbangan bersama menipisnya kabut pagi. Hilang terkoyak karena sms magis itu...

"Alhamdulillah ana bil khaiir...Sungguh berat terasa amanahmu itu, ukhti...Jangankan puisi, menulis yang lain aja sekarang tergagap2 lebih sering mentok di tengah jalan...Kok tiba2 menghendaki puisi maha dahsyat gitu, gerangan apakah?"

Pagi itu, di antara ingatan ke para sahabat yang sedang bertakziah mbak Yungky, akhirnya berbalas sms. Sms yang menggetarkan sendi-sendi hati...

"Ya say aku minta tolong pada dikau dengan pertimbangan banyak sekali dikau berhadapan dengan orang2 sakit di mana di situ segala yang diberikan Allah nyaris hilang. renungan2 dikau aku harapkan dinda," balasnya atas pertanyaanku.

Aku tercekik. Bagaimana mungkin, seorang "sekelas" sahabatku ini meminta renungan-renungan dariku? Aku, yang masih sangat sering terbata-bata meniti hidup, terkadang oleng karena terpaan ujian, yang kadang masih gamang meretas jalan? Benarkah?

"Hiks...Tidakkah BILA WAKTU T'LAH BERAKHIR-nya Opick, dan KETIKA MULUT TAK LAGI DAPAT BICARA-nya Chryse sudah begitu dahsyat berbicara? Kalau pasienku kebanyakan mengajarkan JANGAN SAKIT karena sakit menjadikan kita miskin...padahal, kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran, bukan?"

"Puisi itu kan kutujukan buat diriku juga orang2 di sekelilingku, baik yang dekat maupun yang agak jauh. Agar kami bisa terhindar dari KESOMBONGAN, EGOIS, AMARAH JUGA TIPU DAYA SETAN LAINNYA. Please dear...pelan2 saja. 1 malam 1 baris juga gak apa2"

"Gak janji, ya, mbakyu...kuusahakan sekuat yang kumampu..."

"Semoga adindaku dapat mempersembahkan yang indah dan menggugah untuk hati2 yang gundah...Yu huy...aku lagi melankolis nih," sambutnya. Aku dapat merasa ada rasa girang di dalamnya, meskipun melankolis.

Tiba-tiba, sms lain menyeruak di antara aliran smsku.
"Alhamdulillah aku sempat melihat jenazahnya dan mensholatinya... Subhanallah jenazahnya say...cantiiikkk...kaya lagi tidur..."

Terpelanting aku ke jurang tak berdasar. Gelap, tetapi banyak kunang-kunang...

Hari ini, begitu banyak dzikrul maut - mengingat kematian - yang ALLAH kirimkan untuk kurenungkan. Seorang sahabat yang ALLAH kirimkan memintaku membuat puisi akan kematian, dan seorang sahabat lagi yang mengirimkan warta tentang berpulangnya salah satu sahabat terbaik yang telah menyelesaikan tugas berjuang melawan keganasan dengan wajah tersenyum. Inilah salah satu cara ALLAH mengajarkanku untuk istiqomah di jalan niat semula. Kembali ke kampung halaman adalah langkah hijrah, mencari ladang amal sholih dan berharap bisa berbuah surga. Bisakah aku juga tersenyum ketika ALLAH memanggilku?


Senin, 12 September 2011

RUMAH TERAKHIR DUNIA

Jum'at 3 Syawal 1432 H, 2 September 2011 resmilah kami menempati rumah baru kami. Semoga ini menjadi rumah terakhir kami di dunia. Hitung-hitung, sejak menikah kami sudah berpindah rumah sebanyak delapan kali. Lebih banyak dari pindahnya seekor kucing beranak. Pejaten, Harapan Baru, Pasirukem, Harapan baru, BBD, Permata Puri Laguna ( atas ), Permata Puri Laguna ( bawah ), Kp. Sabuk Alu, dan berakhir di sini : Jl. Dieng KM 3 No 79B Kalianget-Wonosobo.

Banyak teman yang bertanya-tanya gerangan apa mendadak pulang kampung. Dengan bercanda, kujawab kalah berperang melawan garangnya ibu kota Jakarta hehehe...
Bukan itu tentu alasana sebenarnya. Pulang kampung adalah cita-cita kami berdua, aku dan suami. Rencana awal memang, setelah anak-anak kuliah, kami berdua pulang kampung. Membuat basecamp di kaki gunung Sindoro. Melakukan perjalanan wisata, singgah beberapa lama di kota yang kami senangi, menuliskannya. Dan melakukan rehat perjalanan dengan "menemani" kost anak-anak yang sedang kuliah. Bila mereka kuliahnya tak sekota, digilir. Menyenangkan, bukan?

Ternyata, tak harus menunggu anak-anak kuliah. Di tengah perjalanan ekspedisinya, "Kita pulang ke Wonosobo setelah saya selesai ekspedisi, bagaimana?" tanya suamiku via sms. Entah, racun apa yang ditiupkan suamiku, aku seketika mengiyakan. Kontrak rumah akan selesai, Aulya rampung SMP, dan - baik aku maupun suamiku - tak terikat oleh pekerjaan yang mengharuskan berumah di Jakarta. Lebih dari itu, Jakarta tidak kondusif untuk kelanjutan sekolah anakku. Menurut kami berdua. ( Alif, si sulung, kami sekolahkan di Cirebon. Sekolah berasrama ). Aulya, yang semula keberatan pindah, akhirnya mau setelah kami memaknai kepindahan ini sebuah langkah hijrah.

Dan, di rumah inilah sekarang kami..
Pagi kedua di rumah baru, suamiku berdua Alif duduk-duduk di teras belakang yang menghadap bukit kecil di seberang sungai yang airnya mengirim suara gemericik surgawi dan melintasi pematang sawah yang mulai ditanam padi. "Serasa rumah villa, ya, Pak," ujar Alif sambil mengudap serabi yang dibeli bapaknya.

Untuk ukuran kami yang telah berpuluh tahun terbiasa hidup di pinggiran metropolitan Jakarta dengan rumah tanpa halaman, tembok dinding rumah harus berbagi dengan tetangga, dan sejauh-jauh mata memandang hanyalah bangunan-bangunan rumah, menemukan suasana baru yang sungguh sangat kontras adalah sebuah kemewahan yang luar biasa istimewa.

Suamiku tersenyum. "Kamu senang, Nak?"

Sulungku mengangguk.

"Sayang, nih, satu yang kurang..."

"Apa?"

"Nggak boleh merokok..." Suara suamiku terasa masygulnya.

"Katanya hijrah euy..."

Berkali-kali kutekankan, kepindahan kali ini adalah hijrah. Bukankah hijrah selalu bermakna menuju ke kebaikan? Bukankah dari merokok menjadi tidak merokok juga sebuah kebaikan? Coba dilihat dari sisi manapun - kecuali dari sisi penjual dan produsen rokok, tentu saja - tidak merokok pasti lebih baik dari pada merokok. Meski harus pakai sedikit ancaman, akhirnya suamiku mau untuk tidak merokok.

Inilah rumah kami. Semoga menjadi rumah terakhir dunia kami. Semoga menjadi rumah yang dirahmati, diridhai, dan diberkahi ALLAH. Semoga rumah ini dapat menjadi ladang amal shalih bagi para penghuninya yang ALLAH ridhai sehingga layak menjadi bekal kami menuju surgaNya. Dan, semoga keluarga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Semoga rumah ini menjadi surga kami. Meski tak bermeja-kursi :)

Robbana anzilna munzallan mubaarakan wa anta khayrulmunziliin, Ya Tuhan kami, tempatkanlah kami pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.