Jum'at 3 Syawal 1432 H, 2 September 2011 resmilah kami menempati rumah baru kami. Semoga ini menjadi rumah terakhir kami di dunia. Hitung-hitung, sejak menikah kami sudah berpindah rumah sebanyak delapan kali. Lebih banyak dari pindahnya seekor kucing beranak. Pejaten, Harapan Baru, Pasirukem, Harapan baru, BBD, Permata Puri Laguna ( atas ), Permata Puri Laguna ( bawah ), Kp. Sabuk Alu, dan berakhir di sini : Jl. Dieng KM 3 No 79B Kalianget-Wonosobo.
Banyak teman yang bertanya-tanya gerangan apa mendadak pulang kampung. Dengan bercanda, kujawab kalah berperang melawan garangnya ibu kota Jakarta hehehe...
Bukan itu tentu alasana sebenarnya. Pulang kampung adalah cita-cita kami berdua, aku dan suami. Rencana awal memang, setelah anak-anak kuliah, kami berdua pulang kampung. Membuat basecamp di kaki gunung Sindoro. Melakukan perjalanan wisata, singgah beberapa lama di kota yang kami senangi, menuliskannya. Dan melakukan rehat perjalanan dengan "menemani" kost anak-anak yang sedang kuliah. Bila mereka kuliahnya tak sekota, digilir. Menyenangkan, bukan?
Ternyata, tak harus menunggu anak-anak kuliah. Di tengah perjalanan ekspedisinya, "Kita pulang ke Wonosobo setelah saya selesai ekspedisi, bagaimana?" tanya suamiku via sms. Entah, racun apa yang ditiupkan suamiku, aku seketika mengiyakan. Kontrak rumah akan selesai, Aulya rampung SMP, dan - baik aku maupun suamiku - tak terikat oleh pekerjaan yang mengharuskan berumah di Jakarta. Lebih dari itu, Jakarta tidak kondusif untuk kelanjutan sekolah anakku. Menurut kami berdua. ( Alif, si sulung, kami sekolahkan di Cirebon. Sekolah berasrama ). Aulya, yang semula keberatan pindah, akhirnya mau setelah kami memaknai kepindahan ini sebuah langkah hijrah.
Dan, di rumah inilah sekarang kami..
Pagi kedua di rumah baru, suamiku berdua Alif duduk-duduk di teras belakang yang menghadap bukit kecil di seberang sungai yang airnya mengirim suara gemericik surgawi dan melintasi pematang sawah yang mulai ditanam padi. "Serasa rumah villa, ya, Pak," ujar Alif sambil mengudap serabi yang dibeli bapaknya.
Untuk ukuran kami yang telah berpuluh tahun terbiasa hidup di pinggiran metropolitan Jakarta dengan rumah tanpa halaman, tembok dinding rumah harus berbagi dengan tetangga, dan sejauh-jauh mata memandang hanyalah bangunan-bangunan rumah, menemukan suasana baru yang sungguh sangat kontras adalah sebuah kemewahan yang luar biasa istimewa.
Suamiku tersenyum. "Kamu senang, Nak?"
Sulungku mengangguk.
"Sayang, nih, satu yang kurang..."
"Apa?"
"Nggak boleh merokok..." Suara suamiku terasa masygulnya.
"Katanya hijrah euy..."
Berkali-kali kutekankan, kepindahan kali ini adalah hijrah. Bukankah hijrah selalu bermakna menuju ke kebaikan? Bukankah dari merokok menjadi tidak merokok juga sebuah kebaikan? Coba dilihat dari sisi manapun - kecuali dari sisi penjual dan produsen rokok, tentu saja - tidak merokok pasti lebih baik dari pada merokok. Meski harus pakai sedikit ancaman, akhirnya suamiku mau untuk tidak merokok.
Inilah rumah kami. Semoga menjadi rumah terakhir dunia kami. Semoga menjadi rumah yang dirahmati, diridhai, dan diberkahi ALLAH. Semoga rumah ini dapat menjadi ladang amal shalih bagi para penghuninya yang ALLAH ridhai sehingga layak menjadi bekal kami menuju surgaNya. Dan, semoga keluarga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Semoga rumah ini menjadi surga kami. Meski tak bermeja-kursi :)
Robbana anzilna munzallan mubaarakan wa anta khayrulmunziliin, Ya Tuhan kami, tempatkanlah kami pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar