Jumat, 19 September 2014

Kleyang Jurang

Sore ini, alhamdulillah, akhirnya bisa juga mengajaknya ke Kleyang Jurang. Sebuah dusun yang bagiku sangat istimewa. Hampir seluruh penduduk dewasanya menjadi donor darah sukarela. Pekerjaan mereka tani dan pembantu rumah tangga. Motto "totalitas tanpa batas untuk kemanusiaan" ada di dusun ini. 

Pertama kali aku menginjakkan kaki di Kleyang Jurang, hatiku terpaku tak bisa berpaling. Apalagi saat bertemu dengan salah seorang dari mereka, seorang tuna netra yang telah lebih lima puluh kali donor. Diri ini seketika sangat malu. Sejak saat itulah, aku bertekad ingin mengajaknya ke dusun ini. Sebuah dusun yang sangat istimewa. Sebuah dusun yang sangat bersahaja, tetapi menyimpan banyak potensi yang luar biasa.

Bertemu para donor darah sukarela selalu menjadikan segala sesuatu sangat istimewa. Menyebabkan diri ini semakin belum ada arti. Membuat jiwa ini kian gelisah. Kepala selalu menjadi penuh akan cerita sekaligus harapan yang melambung laksana balon udara yang membubung tinggi dengan liar.

Aku sangat berharap banyak padanya. Beberapa kali kesempatan selalu lolos. Padahal aku ingin dia melihat langsung, mendatangi mereka para donor darah sukarela. Mendatangi akan mempunyai dampak yang berbeda dengan bila didatangi. Dan itu aku buktikan sore ini.

Dia pulang dengan banyak pekerjaan rumah. Dia pulang dengan membawa fakta di lapangan. Dia pulang dengan menggenggam harapan banyak orang. Dan bagiku, dia pulang dengan mengikiskan sebagian rasa gelisahku, juga sebersit rasa syukur bahwa semoga kelak di akhirat aku dapat menjawab pertanyaan Tuhanku bila ditanya tentang dia. Aku telah pernah mengajaknya jalan, melihat langsung amanah yang diembannya.

Ini baru sepotong perjalanan kecil, sahabatku. Sebuah kepingan mozaik dalam hidup amanahmu. Masih tersimpan sisa perjalanan lain, yang lebih berwarna. Dan aku dengan senang akan mengajakmu menyusuri perjalanan itu. Aku tidak peduli apakah dirimu senang atau terpaksa menikmati perjalanan kita. Kita baru memulai perjalanan itu, sahabat, dari sini.... Kleyang Jurang, Dusun Donor Darah Sukarela.......

Senin, 24 Maret 2014

TUSAERI

Baru sekali itu aku bertemu. Belum mengenalnya. Menelusuri perjalanan panjang kemanusiaannya membuatku sangat malu.

12 Desember 1986. Aku kuliah semester III. Tusaeri pertama kali mendonorkan darahnya. Kemanusiaan itu terus mengalir seperti aliran sungai yang jernih mengikuti arus. Tanpa pernah jeda, jadwal donor selalu berhasil ia lalui.

Rumahnya berada di ujung sebuah dukuh, di kaki pegunungan Dieng. Sangat sederhana. Berdinding papan, berlantaikan tanah yang ditutup karpet plastik seadanya. Ruangan rumah sempit itu harus dibagi rata untuk istri, dua anaknya, empat ekor kambing tabungan biaya sekolah anaknya, dan beberapa ekor ayam yang disiapkan untuk menjamu tamu atau untuk hari-hari istimewa lainnya.

"Apa rahasianya,Pak?"
Tersenyum tipis sebelum menjawab. Sambil (maaf, inilah satu-satunya yang mengganjal benakku) menyulut sebatang rokok yang sejak tadi telah siap di jepitan kedua jari tangan kirinya. "Selalu bersyukur. Kesehatan yang kita punyai adalah kekayaan kita yang paling mahal."

"Hanya itu, Pak?"
Kembali dia tersenyum. Dan mengangguk. "Hanya dengan bersyukurlah kita akan selalu merasa kaya."

Tusaeri, seorang buruh pikul pasar, telah lebih seratus kali donor darah. Setiap mendonorkan darahnya dia harus mengeluarkan ongkos naik mikrobus sebesar penghasilannya sehari. 

Tusaeri, menjadi seorang yang sangat istimewa bagiku. Dalam kebersahajaannya tersimpan energi semangat berbagi yang luar biasa. Dan semangat berbagi itulah yang membuatnya bahagia. Dan bagi Tusaeri, apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa saja.

Minggu, 23 Februari 2014

PINTAKU

Catatan yang tercecer

Sabtu, 18 Agustus 2012

Ramadhan kali ini terasa lebih dan sangat sepi.
Pintaku pada-Mu Robb, Allah Yang Maha Pemberi,
jagalah hati ini tetap ramai menyerumu...

Ramadhan kali ini terasa lebih pedih...
terbelah dalam dua sunyi, meski berakhir pada muara yang sama..
Ampuni kami duhai Allah, Robb Sang Maha Pengampun,
Kasihanilah kami wahai Allah, Robb yang Maha Rahim,
Terimalah ibadah Ramadhan kami, ya Allah, Robb yang Maha Mengabulkan doa,
meski tak sempurna Ramadhan kami,
meski tak seindah Ramadhan-ramadhan yang lalu... 
Jangan masukkan kami ke dalam golongan yang merugi,
tetapi masukkan kami ke dalam golongan yang mendapat kemuliaan Ramadhan...

Jumat, 21 Februari 2014

SUMI

Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya...(QS 53 An-Najm ayat 39)


Senin 13 Agustus 2012, kunjungan pertamaku kepada beliau. Airmata nyaris menitik melihat tubuh itu terbaring tak berdaya, meski wajahnya berusaha memberikan sesungging senyum. Padahal beberapa pekan lalu, di acara peringatan Hari Anak, kata mereka beliau masih aktif luar biasa meskipun dengan langkah telah terpincang.
Aku tak mengenal beliau sebelumnya. Dan, memandang sosoknya terbayang peristiwa beberapa tahun silam : Sumi....

"Dok, saya terkena kanker payudara stadium IIb"

Raut kekagetanku pasti ditangkap jelas olehnya. Tetapi dia tak mengubah sikap tenangnya itu.

"Ini hasil laboratoriumnya, Dok," lanjutnya sambil mengangsurkan lembar hasil pemeriksaan patologi anatomi.

Masih di antara sadar dan tidak, bahkan serasa melayang di awan dunia lain, kuterima angsuran itu. Refleks, mataku menari menyusuri deretan kata di lembaran itu. Benar yang dia katakan. Dan, lidahku kelu seketika.

Dua bulan yang lalu, dia kembali kontrol karena keluhan sakit payudaranya. Itu pertemuan pertamaku dengannya. Ketika kutelusuri medical record-nya, tertulis di situ telah empat kali kontrol rentang waktu tiga bulan dengan keluhan sama. Nyeri payudara. Awalnya yang dikeluhkan payudara sebelah kanan. Pada kontrol kedua sampai keempat, keluhan nyeri itu berpindah ke payudara kiri. Dengan abses kronis sebagai diagnosis.

Kubuatkan rujukan.
Dan oleh dokter yang menanganinya, dia pun empat kali kontrol tanpa perubahan berarti. Pada kontrol berikutnya baru dilakukan mammografi, dengan hasil malignancy. Barulah dilakukan biopsi. Dengan hasil yang diangsurkan ke aku ini.

"Saya harus ke RSCM, dan kata dokter yang menangani saya, tidak bisa ditanggung asuransi."

Lidahku masih kelu. Memang benar, asuransi tidak menanggung jaminan untuk semua jenis keganasan. Padahal coba seandainya ada sebuah jaminan pemeliharaan kesehatan yang juga mau menanggung pembiayaan penyakit keganasan.....Teringat film Sicko....

Rabu 15 Agustus 2012...
Kunjungan keduaku kepada beliau. Penglihatanku tentu tak salah. Mengamati kedua tangannya yang kian menguning, hatiku kembali mengalirkan tangis perih... Aku tak mengenal beliau sebelumnya... Sebenarnya, penyakit itu telah terdeteksi sejak setahun lalu. Tetapi beliau lebih senang dengan terapi alternatif herba... Ya Allah, padahal beliau seorang yang terdidik dengan jenjang strata dua. Padahal beliau seorang yang aktif berkecimpung dan membidangi masalah perempuan dan anak. Padahal beliau aktif memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi. Aku tak mengenal beliau sebelumnya.....

Sumi, perempuan tangguh luar biasa. Ringkih tubuh kurusnya terkalahkan oleh kemauan bajanya untuk sembuh. Di keterbatasan ekonomi dia berusaha sekuat tenaga melawan ganasnya kanker payudara...

Di kontrakannya yang hanya seluas 3 kali 6 meter itu tak ada lagi harta berharga yang laku dijual. Semuanya telah habis untuk biaya bolak-balik ke RSCM. Dia mengangsurkan sprei yang masih terbungkus rapi padaku. "Tinggal ini Bu Dokter harta saya. Mau saya jual."

Karena harus bolak-balik keluar masuk rumah sakit selama sakitnya, Sumi diharuskan keluar dari pabrik tempatnya bekerja. Tanpa pesangon. Praktis kini hanya suaminya seorang yang menjadi tulang punggung keluarga.

Dan Sumi tetap tak mau kehilangan semangat, meski perlakuan perusahaan tempatnya bekerja menurutnya memperlakukannya tidak manusiawi. Informasi apapun itu, asal tentang bantuan biaya pengobatan  penderita keganasan, akan didatanginya. Ya, kini Sumi hanya mengandalkan bantuan dari lembaga-lembaga sosial. Walaupun dari semua lembaga sosial yang didatanginya itu baru bisa membantunya dengan memberikan harapan, "Silahkan Ibu mengisi formulir ini. Nanti Ibu akan kami hubungi kembali."

Kamis, 16 Agustus 2012
Kunjungan ketiga. Mengantarkan jus bayam dan jus wortel, titipan teman-teman beliau di salah satu organisasi wanita... Wajah yang baru kemarin masih memancarkan binar keceriaan meskipun berbalut kesedihan, hari ini kulihat nampak sangat buram. Kesedihan itu tak lagi mampu disembunyikan olehnya. Air mata menggenangi kuningnya bola mata saat aku menyoba menggenggam kurus jari tangannya. Aku tak mengenal beliau sebelumnya....

"Dok, izinkan saya bekerja di rumah Dokter. Kerja apa saja saya mau, biar ada ongkos untuk ke RSCM," ujarnya suatu ketika. Wajahnya tetap penuh semangat dibalut optimisme sebuah kesembuhan.

Bekerja di rumahku? Jelas tidak mungkin. Selain rumahku jauh, di rumah sudah ada mbak Parti. 

Akhirnya Sumi dapat menjalankan kemoterapi atas bantuan seorang teman yang bekerja di RSCM lewat Jamkesmas. Tetapi untuk kemo yang pertama harus membayar obat kemo sendiri. Sumi menggadaikan kartu Jamsostek miliknya. Sebelumnya, atas kegigihannya, dia mendapatkan kartu Askeskin. Tapi karena ada masalah dengan program itu dan Menkes saat itu mem-phk Askes sehingga tidak ada lagi program Askeskin, proses pengobatan Sumi tertunda. Akibatnya kanker yang semula dalam stadium masih bisa dioperasi itu berkembangbiak. Tidak bisa langsung dioperasi tetapi harus melewati proses kemoterapi terlebih dahulu.

Sumi tak mengenal kata putus asa. Meskipun harus terseok dalam kemiskinan dia selalu semangat dalam ikhtiar kesembuhannya.

Jum'at, 17 Agustus 2012
Kunjungan keempatku. Sehari menjelang Idul Fitri. Selesai mengikuti upacara penurunan bendera. Dan ternyata menjadi kunjungan terakhirku. Keluarga beliau telah memutuskan untuk membawa beliau ke RSUP Sardjito di Yogyakarta. Meskipun keputusan yang sedikit agak terlambat, semoga tetap membuahkan hasil terbaik. Perkenalan yang baru sesaat telah menorehkan cerita yang luar biasa.  Di kelilingi para sahabat, lirih beliau menyampaikan maafnya. Kali ini, beliau tidak hendak menyembunyikan airmatanya. Wajah yang biasanya masih mampu memaksakan senyum, di senja ini benar-benar luruh. Tanganku digenggamnya dengan begitu erat saat aku berpamitan pulang. Sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak menangis. Tangan kirinya lemah mengusap pipiku. "Matur nuwun sanget mbak," ucapnya lirih. Aku hanya mampu mengangguk. Dan bergegas meninggalkan beliau begitu aku bisa. Aku tak mengenal beliau sebelumnya.....

Kemoterapi Sumi memberikan hasil yang baik. Akhirnya Sumi bisa menjalani pengangkatan payudara yang terkena kanker. Wajahnya berbinar senang, tak menunjukkan sedikitpun rasa lelah dalam perjuangan kesembuhannya. 

Operasinya bertepatan dengan peresmian gedung baru RSCM yang diperuntukkan bagi warga miskin. 

"Kalau tidak ingat anak suami, saya nggak mau pulang dari rumah sakit, Dok. Bagus dan nyaman banget ruangannya," ujarnya sambil tertawa senang.

Proses pengobatan Sumi masih panjang. Tetapi wajah itu tidak pernah menampakkan putus asa. Adanya hanya binar penuh semangat.

Tatkala aku tinggalkan Sumi, harus pindah pulang kampung, kankernya sudah remisi. Sumi sudah sibuk dengan perjuangan hidup yang lain. Setiap hari pergi pulang ke Depok untuk mengambil barang dagangan yang dia jual keliling ke sekolah anaknya dan desa-desa sekitar sepulang anaknya sekolah.

Sabtu, 25 Agustus 2012
Innalillahi wa innailaihi roji'un. Kabar meninggalnya beliau kuterima pagi ini. Beliau dimakamkan di tanah kelahirannya, Temanggung. Selamat jalan teman, semoga Allah menyambutmu dalam ridho dan ampunanNya. Aku tak mengenal beliau sebelumnya.....

Entah kenapa, kenangan akan Sumi menari-nari di benak tanpa bisa aku mengungkapkannya. Tiba-tiba saja sosoknya sangat lekat di pelupuk mata yang telah berurai air mata.

****

Telepon selulerku berbunyi. Dari nomor yang akhir-akhir ini membuatku gelisah. Setiap telepon selalu mengabarkan kegetiran. 

Suara perempuan. Tapi bukan suaranya. 

"Dok, mau mengabarkan kalau Bu Sumi meninggal kemarin." 

Termangu cukup lama sebelum akhirnya aku mengucapkan doa dan belasungkawa. Innalillahi wa innailaihi roji'un.

Desember lalu sms terakhir darinya membuatku kehilangan kata-kata. "Assalamu'alaikum Bu Dokter. Bu gimana sehat. Saya berhenti kemo karena saya gak ada biaya. Saya sudah pasrah sama Allah. Bu maapin saya kalau saya gak ada umur"

Di kontrol tahun kelima remisi kankernya, ditemukan benjolan di tulang selangka kirinya yang dari hasil biopsi adalah keganasan. Kali ini Sumi telah kehilangan harapan. Tidak ada akses biaya pengobatan meskipun dia sudah pontang-panting mengusahakannya, tubuhnya berangsur layu, dan suaminya kelelahan dalam menemani perjalanan perjuangannya hingga akhirnya menyerah kalah - menyeraikannya. Hanya sekali dia melakukan kemoterapi dari hasil tabungan yang semula disiapkan untuk biaya sekolah anaknya. Setelahnya dia meletakkan dirinya dalam kepasrahan menunggu takdir yang telah digariskan untuknya.

Selamat jalan Sumi, semoga khusnul khotimah. Semoga engkau syahid dalam kesabaranmu, semoga Allah ridho menerima kedatanganmu dan menempatkanmu dalam rumah surga yang tak ada lagi peluh lelah apalagi airmata. Semoga rasa sakit itu tergantikan dengan cahaya seindah permata. Aamiin.

Kenangan akan Sumi adalah kenangan yang tidak akan pernah usai.