Minggu, 28 Juni 2009

Kuasa Allah

Kemarin, Sabtu 27 Juni 2009, bertepatan dengan pengambilan raport anakku, 2 sms masuk ke inbox hpku...

"Sampan kami terbalik di Mentawai di laut. Kami selamat karena hanya 100 meter dari muara. Tapi laptop MacBook dan dua kamera terendam air laut, mungkin tak terselamatkan. Baru ada kapal ke Padang hari Selasa."

Dadaku bergemuruh. Kalau saja tidak ingat, bahwa takdir Allah selalu ada dalam setiap helaan nafas...
Tetapi, hatiku masih buram, menahan galau yang tetap saja ingin meloncat keluar. Mencoba menguatkan hatiku sendiri, kutulis balasan:
"Innalillahi wainna ilaihi raji'uun" ( bukankah hanya kata ini yang layak untuk disebut? ) "Astaghfirullah...Allahumma ajirnii fi musibatii wakhlifli khairan minhaa. Semoga Allah mengaruniakan kesabaran dan kemampuan mengambil hikmah, ya, sayangku..."

Aaahhh...sebenarnya semua yang kutulis itu lebih tepat ditujukan untuk diriku sendiri. Aku yakin, suamiku lebih tangguh menghadapi takdir itu.
"Bapak harusnya masuk Guiness Book of Record katagori Orang Yang Tidak Pernah Panik Sedunia," kesan anakku yang disematkan untuk bapaknya.

SMS kedua masuk ketika aku baru mulai melerai, berdamai dengan kehendak Yang Maha Berkehendak.
"Mbak, perutku mules keluar flek sama gumpalan darah. Apakah aku harus ke dokter?"

Tanpa jeda, langsung kubalas sms itu.
"Harus, Mbak. Segera saja..."
Aku ngeri membayangkan apa yang akan terjadi. Tetapi, tentu, tak kusampaikan kengerianku itu.

"Aku berangkat ke dokter sekarang. Doakan yang terbaik ya say..."
Berdebar, kubalas "Iya Mbak. Yang sabar, ya, biasanya kalau sudah seperti itu tidak bisa dipertahankan lagi."

Seharusnya aku tidak boleh menulis kata-kata seperti itu, karena aku yakin seyakin-yakinnya dia pasti langsung terguguk menangis. Tetapi, selain karena aku tidak punya kata-kata, aku juga ingin agar dia siap mental mengahadapi kenyataan...

Aaahhh...berbicara memang lebih mudah dari pada menjalaninya. Nyatanya, baru beberapa menit lalu aku yang barusan menitip pesan untuk sabar kepada sahabatku, kelimpungan ketika membayangkan suamiku harus kehilangan laptop dan kamera...

Mataku selalu kuarahkan ke jam dinding di atas televisi itu. Kuhitung-hitung kira-kira sudah sampai apa dokter melakukan tindakan ke sahabatku. Dua jam lewat. Aku tidak berani sms. Aku takut menghadapi kekecewaan dan kesedihan sahabatku.

"Alhamdulillah, Mbak, janinnya bagus. Aku harus bedrest 3 hari. ALLAHU AKBAR! SUBHANALLAH.."

Aku meloncat dari rasa kantuk.
Benarkah???

Lagi-lagi kuasa Allah, Rabb Yang Maha Berkuasa. Aku merasa tertampar, "Jangan takabur, kamu, takdirKU berlaku di atas kehendakKU."

Aku terjerembab jauh ke jurang ketakberdayaan dan kebodohan.
Manusia hanyalah hamba. Yang tidak bisa menentukan takdir apapun. Seharusnyalah, aku berhati-hati dalam berucap..
.

Astaghfirullahal 'adzim, ya Allah, atas kesombonganku mendahului kehendakMU...




Kamis, 18 Juni 2009

AMINAH

Hari ketiga praktik di tempat baru.

Aku dikejutkan oleh seorang pasien. Pasien terakhir. Pasien itu, seorang ibu, tiba-tiba menangis begitu duduk kembali setelah aku selesai melakukan pemeriksaan fisik. Hatiku menciut spontan. Rasa was-was meluber menjadi cemas, takut, dan gelisah. Hal yang paling kutakutkan adalah melakukan kesalahan, dalam bentuk apapun, selama berpraktik.

Dari hasil pemeriksaan fisik yang baru saja aku lakukan itu, tidak kutemukan hal-hal yang serius. Malah boleh dikatakan semua dalam batas normal, tidak kutemukan adanya kelainan. Jadi, tidak ada yang perlu kucemaskan. Tetapi, apa yang membuat aku begitu tersihir hingga tubuh ini gemetar melihat ibu itu menangis?

“Ada apa, Bu? Ada yang salah dengan saya?”

“Oh, tidak Dok! Tidak…!” tangannya serabutan menghapus titik-titik air di matanya dengan ujung lengan bajunya.

“Ibu tidak perlu khawatir. Dari pemeriksaan tadi, semua baik, Bu. Ibu sehat. Barangkali Ibu hanya kurang istirahat.”

“Atau Ibu sedang ada sesuatu yang memerlukan energi lebih dari biasanya? “ sambungku ketika ibu itu, Aminah namanya, masih tetap sibuk mengusap matanya yang terus basah. Ia menggeleng.

“Maaf, ya, Dok.”

“Ya?”

“Seumur-umur saya berobat di sini, baru sekali ini saya diperiksa.”

Aku terhenyak tidak percaya. Kartu status, yang sekaligus berfungsi sebagai medical record, di atas mejaku ini sudah sedemikian tebalnya. Memang, sih, tumpukan kartu yang disatukan itu tidak hanya menampung catatan kesehatan Bu Aminah, tetapi juga merupakan catatan seluruh anggota keluarganya yaitu suami ditambah dua anaknya, tetapi tetap saja bagiku sudah sangat tebal. Hal itu menunjukkan bahwa Bu Aminah dan keluarganya sudah sangat sering berobat. Apalagi ketika sepintas kubalik ke halaman depan. Sekuat tenaga kujaga agar keherananku tidak meloncat keluar. 23 Oktober 1993. Itu tanggal kunjungan pertama. Dan kunjungan pertama itu atas nama Bu Aminah. Artinya, Bu Aminah telah setia berkunjung berobat selama lima tahun lebih!

“Biasanya kalau saya berobat, saya hanya disuruh buka mulut tanpa ditanya macam-macam, kemudian mulut saya disenter, terus saya diberi resep obat.”

Hatiku masygul. Selaksa rasa campur aduk menghunjam jauh jatuh ke dasar jurang nestapa.

Dengan tanpa kata, karena aku tidak tahu harus berkata apa, kutulis resep obat untuknya.

“Ibu, ini obat untuk sakit kepala. Diminum hanya kalau sakit kepala Ibu kambuh,” kuangsurkan resep itu padanya. Seolah-olah tidak pernah terjadi hal yang menggoncangkan hatiku.

Setelah menerima resep diiringi ucapan terima kasih, pasien itu keluar dari ruang periksa.

Kuhempaskan rasa penat ke sandaran kursi. Terjawablah rasanya apa yang menyebabkan wajah-wajah kurang senang itu. Pasti karena pola praktikku.

Aku jadi teringat kejadian tiga tahun yang lalu.

Di sebuah puskesmas pelosok pesisir pantai utara Jawa sana. Waktu itu aku baru memulai tugas sebagai dokter PTT. Tadinya hanya seperti dengung lebah yang tidak jelas bisa ditangkap telinga, karena hanya menjadi bisik-bisik di belakangku. Sampai kemudian soal itu menjadi benderang ketika petugas pendaftar pasien mendekatiku dengan sikap serba salah.

Punten nya Dok. Punten pisan…Kalau periksa pasien jangan lama-lama. Periksanya secukupnya saja, tidak usah ditanya dan diperiksa macam-macam. Teman-teman pada bilang jenuh nunggunya. Kelamaan,” bisiknya takut-takut. Takut menyinggung perasaanku. Takut pula terdengar pasien yang ada di depanku.

Sejak saat itu kucoba menuruti apa yang diminta petugas pendaftar pasien itu. Tetapi seberapapun aku mencobanya, aku tetap tidak bisa. Pada akhirnya aku kembali ke polaku, tetap bekerja sebagaimana biasanya aku bekerja. Aku menikmati seremoni itu. Seremoni profesi kedokteran.

Setelah melalui kesepakatan dengan petugas-petugas puskesmas yang terkait dengan jadwal praktikku – kebetulan, meskipun puskesmas tempat aku PTT ini terletak jauh di pelosok tepi pesisir pantai utara, ada tiga orang dokter umum termasuk kepala puskesmas dan seorang dokter gigi, sehingga aku bisa tidak setiap hari berpraktik – akhirnya aku bisa berpraktik dengan caraku. Aku memulai praktik jauh lebih pagi dari jam buka resmi puskesmas. Dengan demikian, paling siang pukul 10.30 aku sudah selesai berpraktik sehingga tidak mengganggu waktu istirahat teman-teman. Hal itu mudah bagiku karena aku tinggal di rumah dinas yang letaknya persis di belakang puskesmas dan dari pengamatanku banyak pasien yang datang pagi-pagi sekali jauh sebelum jam buka pukesmas. Dua pekerjaan kulakukan sekaligus, mendaftar pasien dan memeriksanya. Dan ketika jam buka resmi puskesmas tiba, separoh lebih pasien telah selesai kuperiksa.

Masalah terselesaikan, meskipun terkadang aku memperoleh ejekan penuh nada belas kasih dari teman-teman sejawatku yang sama-sama PTT kalau sedang bertemu dalam rapat dinas di kabupaten. PTT, yang seharusnya Pegawai Tidak Tetap, sering dipelesetkan sebagai Pegawai Tanpa Target ( Yang bisa diartikan, lalui saja kewajiban PTT itu ala kadarnya, toh setelah PTT berakhir tidak jelas juga nasib selanjutnya – maksudnya tentu, tidak otomatis menjadi PNS. Selain bahwa setelah selesai PTT akan mendapatkan selembar surat keterangan telah melaksanakan PTT yang merupakan syarat mutlak untuk bisa mengantongi Surat Ijin Praktik atau untuk sekolah lagi – jika berminat dan ada dana.)

***

Aku berpraktik di sebuah klinik kecil. Di pinggiran selatan metropolitan Jakarta. Pasiennya hampir 95% adalah buruh pabrik, yang jaminan kesehatannya ditanggung sebuah asuransi yang paling kecil preminya dibandingkan asuransi-asuransi kesehatan lain. ( Tahu , kan, besarnya premi yang dibayarkan berbanding lurus dengan fasilitas pelayanan yang diterima? ).Selebihnya pasien asuransi menengah ( yang preminya lebih besar dari asuransi buruh kebanyakan) dan pasien non asuransi yang hampir semuanya dari kalangan miskin. Dalam sebulan pasien yang tidak miskin bisa dihitung dengan jari tangan.

Selama berpraktik di tempat ini, yang sudah memasuki tahun kesepuluh, kasus yang kutemukan tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus yang kutemui sehari-hari di puskesmas dulu. Kasus-kasus "biasa" yang monoton. Itu-itu saja. Sangat jarang yang istimewa. Bahkan untuk beberapa kasus, hanya dari anamnesa saja sebenarnya kita sudah hampir pasti bisa memberikan obat simptomatis, yaitu obat yang diberikan untuk mengurangi gejala-gejala yang dikeluhkan pasien. Hampir 80% pasien yang datang berobat itu tidak sakit.

Tetapi apapun keluhan pasien, sakit atau tidak, pemeriksaan fisik lengkap yang merupakan salah satu seremoni profesi itu tetap kulakukan. Jadi terkesan berlebihan memang. Kurang kerjaan, kata teman sejawatku. Sebenarnya, itu semua kulakukan untuk membangun kepercayaan pasien agar aku mudah melakukan edukasi pasien. Semakin aku terbenam dalam praktik, semakin kuyakini bahwa yang harus dilakukan dan diperlukan pasien-pasienku adalah usaha preventif kesehatan.

Jenuh dan rasa bersalah kadang-kadang memang singgah.

Jenuh karena kasusnya itu-itu saja. Tapi hal itu tak pernah lama. Semuanya akan luruh tatkala bayangan Bu Aminah yang menangis saat pertama kali bertemu denganku membasuhnya. Bahkan terkadang rasa jenuh itu mengajakku untuk berkelana menjelajah ke seputar kehidupan pasien. Sesekali aku melakukan kunjungan rumah. Karena meskipun dekat dengan metropolitan, kebanyakan pasienku adalah mereka yang tak pernah lelah bergelut dengan kemiskinan. Masalah pasienku adalah masalah kesehatan yang berkelindan dengan kemiskinan.

Bersalah, bukan kepada pasien tentu saja, tetapi kepada teman-teman sejawat sendiri. Selalu terngiang ucapan salah satu teman saat periode-periode awal aku berpraktik di tempat ini, “Periksa pasien yang perlu-perlu saja. Tidak usah semua pasien diperiksa…”

Bersalah, karena dengan apa yang kulakukan, kian hari kunjungan pasien pada jadwal praktikku kian banyak, sehingga waktu yang kuperlukan untuk berpraktik makin lama. Memajukan jam buka praktik jelas tidak mungkin karena tempat tinggalku dengan klinik terentang waktu lebih satu jam perjalanan.

Itu satu soal. Soal lain tentang teman sekerja. Mana ada yang mau menambah jam kerja tanpa ada konsekuensi tambahan honorarium.

Seorang teman sejawat –kebetulan kakak kelasku ketika kuliah – yang pernah praktik di klinik ini, tak bosan-bosannya memintaku untuk keluar dari klinik.

“Kamu kok mau, sih, dijadikan sapi perah begitu. Tidak manusiawi, tahu!?” sungutnya selalu setiap kabar yang didapat adalah aku masih betah praktik di klinik ini. Aku hanya tersenyum.

Setiap dia menanyakan kabar aku sudah keluar atau belum, bayangan pasien sontak berkelebat berlomba di pelupuk mata. Menari dalam berbagai irama. Pengalaman dengan Bu Aminah sangat kuat mengikatku untuk tidak keluar dari klinik ini.

Selama beberapa tahun berpraktik, Bu Aminah – tanpa sepengetahuannya – telah menjadi sahabat sejatiku yang selalu memompa semangat agar aku tetap bertahan berpraktik di tempat ini. Bahkan sampai sekarang. Meskipun Bu Aminah tidak pernah lagi datang berobat karena pabrik tempat suaminya bekerja harus tutup karena bangkrut.

Aku ingin pasien yang berobat ke klinik ini mendapatkan pelayanan seperti apa yang memang seharusnya mereka dapatkan sebagai pasien. Dokter hidup dari penderitaan orang, maka sudah sepantasnyalah seorang dokter melayani pasien sebaik-baiknya. Tanpa memandang statusnya.

Tahun 2006. Kutemukan lagi penasehat yang semakin meneguhkan aku untuk tetap berpraktik di klinik ini. Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja. Sebuah buku yang ditulis Prof.Dr.dr. Daldiyono.

“Antara dokter dan pasien adalah mitra dalam menuju usaha bersama penyembuhan. Bekerja bersama-sama. Kelemahan kedokteran di Indonesia,interaksi dan komunikasi dokter dengan pasien hanya mendapatkan porsi sedikit.”

Disadari atau tidak, esensi kerja seorang dokter adalah mengambil keputusan. Salah mengambil keputusan akibatnya fatal. Seorang dokter dalam bekerja melibatkan beberapa aspek, seperti memahami teori, memiliki ketrampilan tinggi, empati dan holistik, beretika dan religi. Mesti mengembangkan sikap mental sebagai profesional, pandai menempatkan diri dalam hubungan psikologis dengan pasien dan memperhatikan aspek emosional.”

“Profesi kedokteran memiliki ciri atau karakteristik yang unik, yaitu bersifat keilmuan, ketrampilan, perilaku, humanistik, dan juga bersifat seni.”

“Dari segi historis dan filosofis sejak jaman Hipocrates, praktik profesi kedokteran tidaklah dapat dipisahkan atau dilepaskan dari seremoni…adanya wawancara dan pemeriksaan fisik lengkap masuk dalam aspek seremonial tersebut…Harap dimengerti, bahwa seremoni berkaitan dengan keyakinan dan kepuasan. Dan yang tidak kalah penting tetaplah ilmu dan profesionalisme secara keseluruhan”.

Akhirnya, bagaimanapun hingar bingarnya dunia kedokteran masuk ke milenium global, sembari sering kudengar sindiran-sindiran pedas semisal “Sakit itu mahal. Jangan pernah sakit kalau tidak menjadi orang kaya, karena untuk bisa dirawat di rumah sakit harus punya banyak uang. Harus punya deposit sebagai jaminan. Dan untuk menebus resep obat, laboratorium, dan tetek bengek pemeriksaan lain juga harus tersedia uang di tangan karena tanpa uang artinya sonder penanganan…bla..bla…bla…” yang sangat menohok hati dan meruntuhkan moral, aku tetap akan berpraktik di tempat ini. Tempat yang sepertinya tidak akan pernah tersentuh gemerlapnya milenium global itu. Tempat berpraktik yang secara materi memang tidak menjanjikan apa-apa.

Aku akan tetap berpraktik di sini. Di klinik ini.

Hatiku telah tertambat pada sebuah cinta. Cinta pada segala yang ada.

***

Agustus 2008

Rabu, 17 Juni 2009

alasan

Mengapa setelah beberapa bulan blog ini dibuat belum juga diisi?

Semula memang ada semangat yang berkobar-kobar untuk segera menulis yang hampir setiap hari menggedor isi kepala.
Tetapi, setelah pulang ke rumah, beraktivitas kembali seperti sedia kala, semangat yang menggebu itu hilang seperti terhempas air bah.
Dan niat terpaterikan, akan mulai menulis pada saat suamiku berangkat ekspedisi.
Ternyata, belum kesampaian juga...

Nah,
malam ini, sembari memeloloti tv yang disibukkan oleh kampanye pilpres, aku ingin mencoba mulai menulis.
Ini hari ke tujuh belas suamiku menikmati petualangan. Bisa jadi malam ini suamiku sedang mengadakan acara perpisahan dengan teman-teman barunya di Enggano....