Minggu, 09 Januari 2011

J. Hidayatullah

Sabtu, 8 Januari 2011.
Salman, Cirebon, tempat Alif dua setengah tahun ini menimba ilmu.

Baru saja aku duduk di kursi..
"Bu, ini Dayat.." kata suamiku, nyaris membuat aku terlonjak.
Kemudian suamiku membiarkan kami berdua ngobrol. Suamiku bergabung kembali dengan teman-tamannya, yang sebagian adalah guru Alif, dan sebagian lagi orangtua teman anakku.

Kemudian, sosok kekar kehitaman dengan karakter wajah yang kuat memulai kisahnya.

Hampir tiga tahun kami, aku dan suamiku, kehilangan jejaknya. Dia menghilang tanpa kabar sejak tiba di Jakarta. Kami sempat mempunyai pikiran jelek waktu itu. Mungkin Dayat tidak menyangka sama sekali bahwa kehidupan kami tidaklah seperti apa yang dia bayangkan selama ini. Bahwa kehidupan kami penuh perjuangan berat dan panjang untuk dapat tetap bertahan hidup dengan "normal" menurut ukuran selayaknya metropolitan. Karena itulah, mungkin Dayat lantas pergi meninggalkan kami.

"Bu, hanya satu alasan yang membawa aku sampai ke sini. Aku ingin minta maaf pada Bapak dan Ibu. Telah banyak kesalahan yang kuperbuat akibat kebodohanku sendiri," ujar Dayat membuyarkan lamunanku.

Aku hanya mampu tersenyum. Tapi hatiku berbunga-bunga penuh rasa syukur, anak yang hilang itu telah kembali.

Kemudian dari mulutnya mengalir kisah yang membuatku teriris beribu sembilu, tetapi juga terselip rasa syukur bahwa Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pemelihara tidak pernah sedetikpun meninggalkan Dayat.

Awal perkenalanku dengannya Januari 2005. Dari Aceh sana suamiku mengabarkan bahwa dia bertemu dengan seorang remaja yang memerlukan bantuan. Sebenarnya, banyak sekali remaja, bahkan anak-anak, yang bernasib seperti Dayat. Tapi entah kenapa, suamiku jatuh hati pada Dayat. Sudah garis yang ditetapkan Allah...

Calang luluh lantak. Dayat tinggal sebatang kara. Dari keluarganya, yang selamat dari tsunami Aceh 2004 selain dirinya hanyalah adik ayahnya. Dia selamat karena waktu peristiwa terjadi sedang berada di Banda Aceh. Kuliah di Fakultas Pertanian semester tiga.

Seperti suamiku, aku pun menjadi jatuh hati dengan Dayat. Apalagi saat kulihat gambarnya yang sedang mengais-ngais puing bekas rumahnya, mencari foto atau apapun yang tersisa yang dapat "mempertemukan" dirinya dengan keluarganya, muncul di salah satu tv nasional. Aku semakin jatuh hati. Alhamdulillah, salah satu teman suami yang pertama kali bisa menjangkau Calang, sudah mengenal Dayat jauh sebelum tsunami. Jadi aku bisa dengan mudah mengakses dirinya. Sejak itulah kami memutuskan untuk membantu Dayat semampu yang kami bisa lakukan.

Tahun 2008. Setelah Dayat mengabarkan kalau usaha rental mobilnya gagal, dia mengabarkan ingin ke Jakarta. Dayat memang kemudian tidak mau meneruskan kuliahnya, karena ingin buka usaha rental mobil. Pernah juga dia ingin berjualan pulsa dan hp. Sebisa mungkin kami membantu mecari jalan keluarnya.

Kami akhirnya mengusahakan agar Dayat bisa ke Jakarta. Alhamdulillah, suami dapat pekerjaan tambahan. Honor yang didapat pas cukup untuk membeli tiket pesawat sekali jalan Medan-Jakarta.
Baru tiga hari Dayat berada di Jakarta, bermalam di kantor suami karena rumah kontrakan kami tidak memungkinkan untuk menjadi tempat bermalam Dayat, suamiku mengabarkan kalau Dayat pergi tampa pamit, entah ke mana. Suamiku akhirnya mencarinya dengan bantuan teman-temannya yang pernah meliput tsunami Aceh. Tak membawa hasil. Sejak saat itu Dayat menghilang sepeti ditelan bumi. Bahkan saat suamiku melakukan perjalanan keliling Indonesia dengan Zamrud Khatulistiwa-nya, menyempatkan untuk bisa melewati Calang, menemui adik ayahnya Dayat. Bertemu. Tetapi beliaupuh tidak tahu keberadaan Dayat.

Ternyata, dalam menghilangnya itu, Dayat dalam pengembaraan panjang. Perjalanan penuh liku, kadang terjal kelam penuh siksa dan salah. Telah berada di ujung putus asa pun pernah dia alami. Alhamdulillah, buhul tali kasih sayang Allah lebih kuat dari keputusasaannya. Di penghujung perjalanan khilafnya, dia Allah damparkan di sebuah pesantren kecil di Salatiga. Kota yang tidak jauh dari tempat kami sekeluarga sekarang bermukim. Tapi Allah belum berkehendak mempertemukan kami dengan Dayat. Masih perlu waktu beberapa saat. Sampai akhirnya Allah memilihkan Salman, sekolah anakku ini, di kota yang memerlukan waktu lebih lima jam perjalanan dari rumah. Dan Dayat telah menempuh perjalanan penuh liku dan warna dari Palembang nun jauh di sana.

"Dayat, banyak orang yang telah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Tetapi sangat langka yang mau dan mampu menyadari kesalahan itu, dan mau mengakui serta memperbaikinya. Bersyukurlah kamu, Dayat, karena Allah memilih dan menghendaki kamu termasuk menjadi golongan yang sedikit itu," kataku setelah Dayat selesai menceritakan kisahnya. "Tidak salah ayahmu memberimu nama Hidayatullah..."

"Iya, Bu. Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan..." ujarnya lirih. "Sampai sekarang, aku masih seperti bermimpi."

Penghujung pertemuan kami, aku harus kembali pulang, dia ikut suamiku ke Jakarta untuk meneruskan perjalanan ke Palembang mau pamit ke temannya yang sudah memberi pekerjaan sebagai buruh kasar sebagai kuli angkut besi rel kereta api.
"Dayat, kamu tulislah kisah perjalananmu yang panjang dan penuh liku itu sebagai memoar. Agar pengalamanmu bisa kamu bagi dengan orang banyak."

"Aku tidak bisa menulis, Bu."

"Gampang. Tulis saja apa yang kamu bisa tulis. Nanti biar Bapak yang bantu edit."

Dayat tersenyum. Sedikit tersemburat dari matanya binar kelu, tetapi penuh asa, berhasil aku tangkap sebelum akhirnya aku memasuki peron stasiun.

Biar Dayat sendiri yang mengisahkan perjalanan itu. Perjalanan yang luar biasa hebatnya. Kalau aku yang menuliskan di sini, aku yakin tak akan mungkin bisa sehebat Dayat menceritakannya padaku.