Selasa, 28 September 2010

Eliza Eka Puspita Dewi

Kenangan ini kutulis di awal Juni yang lalu, ketika sedang hangat-hangatnya persiapan reuni perak fkugm85... Liza adalah salah seorang teman kuliah sekaligus teman kost di Yogya. Ada banyak rasa, melebihi kata-kata yang tertulis... Semoga engkau dalam naungan rahmat dan ridho Allah, sahabatku...
***

Eliza....

Lima tahun sudah engkau pergi meninggalkan kami.

Sebuah Senin pagi, 6 Juni lima tahun lalu.

Telepon rumah berdering. “Nok, wis krungu kabar, durung, Eliza meninggal wingi sore?” sebuah suara nun jauh dari Blora mampu membuatku terlonjak dari duduk.

Innalillahi wainnailaihi raji’un. Begitu saja mulut ini kelu, dan mata kabur basah seketika. [ Beberapa missed call tertera dalam register selulerku sejak malam sebelumnya. Dari teman-teman kost di Sendowo. Maafkan aku. Aku sedang tidak mood dengan hp, sehingga hp itu berada jauh dari jangkauanku. Maafkan aku…]

Aku pernah dekat, dan juga pernah terasa jauh denganmu.

Beberapa pekan sebelum kepergianmu, dalam tiga kesempatan, aku memimpikanmu. Tetapi yang terpeta jelas hingga kini adalah mimpi sepekan sebelum kepergianmu. Dalam mimpi itu, sepertinya kita sedang reuni satu angkatan, engkau mendekatiku dan bertutur, “Aku titip anak-anak, ya, Kum.”

“Lho, kamu mau ke mana?” tanyaku bingung.

Bingung, mengapa sedang seru-serunya reuni, engkau malah mau pergi. Dan bingung, karena dalam keramaian itu ada banyak kawan, mengapa engkau memilihku untuk menitipkan anak-anak. Kita tak pernah lagi saling kontak sejak lulus dari fakultas 13 tahun lalu. Hanya dua kali kartu lebaran yang engkau kirim untukku, dan dua kali surat yang kulayangkan kepadamu. Tetapi engkau hanya tersenyum, menggenggam tanganku, dan kemudian pergi meninggalkan keramaian reuni itu. Dalam mimpiku…

Eliza…

Mengenangmu adalah mengenang sebuah pribadi ceria, penyayang, ramah, manja, dan romantis. Engkau menginginkan menjadi penyair, dan selalu merangkai puisi. Indra Duhita. Nama yang selalu engkau tuliskan di setiap coretan puisimu. Nama yang tak jadi engkau sandang, pemberian mami tercinta saat kelahiranmu.

Eliza…

Mengingatmu adalah mengingat sebuah keuletan, keteguhan, dan ketangguhan yang selalu bersanding dengan kemauan yang keras.

Dan mengenalmu adalah mengenal sosok seorang ibu yang luar biasa istimewa.

Allah membalikkan engkau/ dari perasaan satu ke perasaan lain/ agar engkau memiliki dua sayap untuk terbang/ bukan satu [ Jalaluddin Rumi ]

Pergilah engkau, kawanku, jiwa yang tenang, menghadap Tuhanmu. Insya Allah, kami pasti menyusulmu..

Aku sangat terlambat untuk dapat memahamimu. Tetapi aku tak ingin tertinggal mendoa untukmu.

Tenanglah engkau kini teman baikku.

Tak usah cemas, tak perlu risau.

Ada mami yang selalu hadir untukmu, yang setia mendoa bagimu, tak pernah aus mengenangmu, dan tak lekang menempatkanmu dalam relung kalbu.

Biarkan rindu ini kuhunjamkan sedalam rengkuhan doa. Dan kan kuuntai doa ini:

Allah-ku,

Jadikan temanku ini, kini, ruh yang bersemayam dalam burung yang terbang mengitari taman surga.

Tempatkan sahabatku ini dalam ridho dan rahmatMU.

Bangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yang tak ada lagi peluh lelah di dalamnya.

Jadikan kami, meski tak sempat menjadi sahabat di dunia, adalah teman yang pantas bercengkerama dalam taman surgaMU kelak.

.... beriring Al Fatihah, dan kututup rindu ini dalam harap cemas yang tersemat : Amin ya Rabbal'alamin.

Sabtu, 12 Juni 2010

TURI

Komunikasi yang baik adalah hal yang sangat penting agar apa yang ingin kita tuju sesuai dengan yang kita mau...

Namanya Turi. Wajahnya masih menyisakan sakit setelah operasi. Terlihat dari tangannya yang menekan perut bawah kanannya dan bibirnya yang setengah meringis. Tetapi yang menarik perhatianku adalah kegalauan wajahnya. Hatiku berdesir. Kuatir dia akan menyalahkanku atas operasi tersebut.

Akhirnya dia mau menjalani operasi, setelah empat bulan lebih aku membujuknya. Itupun karena dia mulai merasa terganggu. Setiap melakukan aktifitas benjolan di selangkangannya itu semakin membesar. Jelas itu sangat mengganggu pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Dan, dua pekan lalu dia menyerah, takluk. Meskipun dengan wajah sedikit pias menahan rasa takut dioperasi, dia menyatakan siap untuk dioperasi. Dan, kubuatkanlah surat rujukan untuk operasi hernianya itu. Sambil masih kuulang-ulang, bahwa operasi hernia itu bukan operasi yang mengerikan, meskipun semua operasi selalu ada risiko.

"Kenapa, Pak? Beres, kan, operasinya?"
"Alhamdulilah, Dok..."
Tangannya menggaruk kepala pelontosnya yang mulai ditumbuhi rambut baru.
"Dokter lihat, tidak, perubahan ini?"
"Apa?"
"Masa Dokter tidak melihatnya?"
Tangannya masih mengusap-usap kepalanya.
"Kepala gundul saya ini, lho, Dok. Masa Dokter tidak melihatnya, sih?"
"Kalau kepala Bapak yang gundul, saya melihatnya, Pak. Tapi, apanya yang aneh?"
Dia diam sejenak, sebelum akhirnya bercerita.
Sehari sebelum operasi, setelah menyerahkan semua hasil laboratorium dan foto dada, dia diperbolehkan pulang, setelah diberitahu persiapan apa saja yang harus dilakukan di rumah. Persiapan sebelum operasi boleh dari rumah. Ketika langkah kakinya mencapai pintu ruang periksa, seorang perawat memanggilnya.
"Pak, jangan lupa besok rambutnya digunduli, ya," ujar perawat itu.
Turi mengiyakan instruksi itu. Dari rumah sakit dia langsung menuju tempat pangkas rambut langganannya. Dan, gundullah kepalanya kini.

Di kamar operasi,
"Sudah digundul, belum, Pak?" tanya perawat itu.
"Lha, Suster, kan, sudah lihat sendiri kepala saya sudah pelontos?"
Perawat itu terlonjak kaget.
"Ngapain kepala ikut-ikutan digunduli? Maksud saya, rambut kemaluan Bapak. Sudah dicukur, belum?"
"Hhhhaaaa..???" gantian Turi yang terperanjat kaget.
"Kemarin, kan, Suster sendiri yang bilang saya harus gundul?"
"Aduh, Bapak..Bapak.. Maksud saya rambut yang di bawah. Kan, yang mau dioperasi daerah selangkangan, Pak."
Turi malu ketika semua orang yang ada di ruangan operasi itu tertawa.

"Saya malu, Dok, atas kebodohan saya..."

Itulah yang menyebabkan wajah Turi galau.

Ternyata....


Selasa, 18 Mei 2010

proses pembelajaran

Membendung rasa rindu yang meluap perlahan...
Kubaca ulang seluruh catatan pribadi. Dari buku harian, surat-surat, hingga serpihan kenangan yang lain.
Aku menjadi malu, malu sekali...
Melihat sosok bayang diri pada cermin kusam. Bayangan terlihat kabur. Tetapi sorot itu jelas terlihat...betapa temperamentalnya diriku. Aku menemukan diri seperti anak sepuluh tahun yang terjebak pada tubuh seorang dewasa...
Tapi biarlah...
Tak akan kuhapus bayang itu. Tak akan kutinggal jejak itu..Tetapi, aku tidak ingin terpaku pada bayang masa lalu. Biarkan semua itu menjadi catatan sejarah perjalanan pendewasaan diri. Belajar sepanjang hayat...
Alhamdulillah, alangkah bersyukurnya aku...Betapa nikmat berlimpah. Suamiku, pendamping proses belajar itu. Pengalaman-pengalaman, guru berharga dalam setiap langkah. Anak-anak, sinyal benderang sebagai lentera perjalanan...

Aku tak sanggup menanggung malu ketika membaca lembaran-lembaran itu. Tak sanggup. Bahkan terhadap diri sendiri aku tak sanggup.. Juga, tak pula sanggup aku menahan air mata...

Allah, Tuhanku, terima kasih telah Engkau beri kesempatan untuk belajar, belajar, dan belajar. Terima kasih atas anugerah hidayah hingga kumampu mengambil hikmah. Terima kasih Allah-ku...

Sabtu, 20 Maret 2010

kenangan

hari ini kuputuskan untuk membuang semua atribut masa lalu, sebuah istana kecil yang pernah selintas kami singgahi... bukti angsuran kpr, sertifikat dari btn, bukti tagihan telepon dan listrik, catatan dan kuitansi renovasi.
biarkan kenangan itu terpateri di ruang memori kecil ini saja.. hidup, tak terpaku pada jejak bayang masa lalu...