Jumat, 16 Desember 2011

WIWIK

Sampai sekarang aku tidak pernah tahu nama lengkapnya. Padahal dia adalah sahabat akrab masa kecilku. Sangat, sangat akrab. Meski dia satu tingkat di atas kelasku, nyaris tiada hari tanpa aku dan dia bermain bersama. Bahkan tidur pun lebih sering bersama. Kadang di rumahku, sesekali di rumahnya. Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah dinas orangtuaku.

Dia anak orang paling kaya di kampungku, Ngebrak.

Halaman rumahnya dipenuhi berbagai macam bunga. Ada satu pohon bunga yang jadi incaranku dan teman-teman lain sebagai bunga idola. Bunga itu jarang berkembang. Harumnya saat mekar terasa lembut. Berbeda dengan harumnya mawar ataupun melati yang tajam. Kelopak luarnya saat masih kuncup warnanya ungu kemerahan. Kelopak dalamnya, bila mekar, berwarna kuning pastel. Kami menyebutnya bunga cempoko boros.

Ada satu kejadian yang tidak terlupakan berkaitan dengan bunga satu ini. Waktu itu giliran kepemilikan telah aku proklamirkan. Tidak sia-sia rasanya setiap pagi sebelum mandi, hampir sebulan lamanya, selalu kusempatkan untuk melihat-lihat bila kembang idola itu menampakkan putik bunganya. Dan, yang membuatku girang tak kepalang, di luar kebiasaannya yang bila berbunga hanya memberikan satu bunga dalam satu tangkai. Ini empat putik bunga sekaligus dalam satu tangkai! Itu sebabnya, kugantungkan sebuah tulisan berisi maklumat akulah sang pemilik empat putik bunga itu.

Suatu hari, seorang ibu tetangga kami mengalami "kesurupan". Sebenarnya kami tidak heran dengan kejadian itu, karena ibu itu sudah terlalu sering "kesurupan". Biasanya "kesurupan"nya itu akan hilang setelah permintaannya dituruti. Padahal permintaannya sering membuat bergidik. Pecahan kaca, pecahan piring - gelas, pecahan genteng. Semua itu akan dimakannya dengan lahap tanpa bersisa. Seperti biasa bila "kesurupan", ibu itu naik ke para-para rumah. Menari-nari di atas sebilah kayu kuda-kuda atap rumah. Dan selalu, orang-orang yang melihatnya ramai berteriak menyuruhnya turun. Ibu itu bergeming. Tetap melenggak-lenggokkan tubuhnya sambil berjalan dari ujung bilah kayu ke ujung yang lain sembari nembang. Dan di ujung bilah kayu, ibu itu membalikkan tubuhnya dengan putaran tubuh yang sangat cepat. Semakin orang keras berteriak, semakin menggila tingkah ibu itu. Dan ibu itu mengancam akan melompat dari ketinggian para-para bila ada yang mencoba naik untuk menurunkannya. Hampir seharian ibu itu di atas para-para sambil terus menari-nari. Bila sudah kelelahan, ibu itu akan duduk di bilah kayu itu dengan kaki menjuntai sambil terus nembang. Saat itulah, tawaran keinginannya diajukan. Sore itu ibu itu mau turun asal dicarikan bunga cempoko boros. Teman-temanku sontak bersorak kegirangan sambil menatapku penuh kemenangan. Hanya rumahnya Wiwik, satu-satunya di kampungku yang mempunyai pohon bunga cempoko boros. Aku terhempas dalam kesedihan yang luar biasa melihat ibu itu memakan dengan lahapnya kembang cempoko borosku. Dan, semakin menghunjam menusuk hati rasa sedih itu karena tidak ada satu pun orang dewasa yang memahami rasa kehilanganku.

Di sisi lain halaman rumahnya. Persis di sebelah jendela kamar tidurku, tumbuh pohon jeruk Bali. Bila berbuah, sebagian buahnya menjuntai ke rumahku. Dan kami sering iseng nyonggrok dengan galah dari jendela kamar tidurku. Pak Dhe, begitu aku memanggil bapaknya, pasti hanya memelototkan mata tanda marah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun bila kebetulan memergoki keisengan kami berdua. Kami hanya nyengir, meskipun tahu bersalah tetapi berlagak tidak bersalah. Kalau Pak Dhe sudah berlalu, keisengan yang sempat terhenti dilanjutkan kembali hingga berjatuhan beberapa buah jeruk. Perkerjaan yang sangat sia-sia karena jeruk itu tentu belum bisa dimakan. Kami hanya suka mengamati pola buah jeruk itu saat diiris tipis-tipis, seperti kue kering kalengan.

Di bawah pohon jeruk itulah, aku dan Wiwik merayakan sya'banan.
Setiap bulan Sya'ban, sebulan sebelum Ramadhan, kami - para anak-anak di kampung kami - membuat gubuk jerami secara berkelompok. Biasanya, sih, berkelompok berdasarkan persahabatan yang terjalin. Aku selalu membuat gubuk itu bersama Wiwik. Selama hampir sebulan kami berumah dan melakukan aktivitas layaknya seperti di rumah, di dalam gubuk itu. Memasak, belajar, dan tidur di gubuk itu. Pulang ke rumah hanya bila waktu mandi tiba. Di malam hari, setelah sholat Isa berjamaah di tempat Pak Anas, guru mengaji kami, kami saling berkunjung ke gubuk para tetangga kami yang bertebaran di halaman sekitar rumah kami untuk sekadar saling bertamu dan bertukar hasil masakan kami. Sambil bercerita ramai layaknya orangtua-orangtua kami bila sedang kenduri berkumpul bersama. Sebuah pesta gubuk yang meriah dan mewah. Bila malam purnama tiba, sepakat para penghuni semua gubuk berkumpul di depan salah satu gubuk yang mempunyai halaman paling luas. Di arena itulah kami menghabiskan malam purnama. Biasanya, Pak Anas memanfaatkan momentum itu untuk memberikan nasehat-nasehat tanpa menggurui, tetapi dengan media dongeng yang membuat kami dapat selalu terpukau. Pak Anas, selain pandai mengajarkan mengaji, juga seorang pendongeng ulung. Setelah dewasa aku baru tahu, bahwa materi dongengnya sebagian besar diambil dari kisah para Sahabat Nabi. Selesai acara, kami pulang ke gubuk kami masing-masing, dan kemudian Surah Yasin terdengar dari masing-masing gubuk. Kami membaca Surah Yasin di gubuk dengan penerangan lampu teplok. Kami membaca Surah Yasin karena kata Pak Anas, di malam tanggal 15 Sya'ban itulah takdir kami setahun ke depan ditetapkan. Dengan membaca Surah Yasin sebagai pengantar doa, kami berharap takdir yang ditetapkan untuk kami adalah takdir baik.

Perkampungan gubuk itu akan berakhir tiga hari menjelang Ramadhan. Kami akan membongkar gubuk kami dengan perasaan sedih kehilangan. Dan, mengenang sya'banan masa kecilku, selalu membuatku terhempas ke dalam nestapa karena aku tidak bisa menghadirkan kemewahan itu kepada kedua anakku. Mereka terpenjara di tembok kota metropolitan. Sehari penuh terkungkung di balik riuhnya sekolah. Berangkat pagi buta, pulang saat senja telah tenggelam, dan malamnya tidur kelelahan. Sementara, tidak ada satu pun halaman rumah di komplek kami yang bisa dipakai untuk mendirikan hatta hanya sebuah gubuk. Bila tidak karena sempitnya halaman, seperti rumah kami, ya karena halaman itu lebih bermanfaat untuk memarkir beberapa mobil. Maafkan ibumu, Nak, yang telah merampas keceriaan masa kanakmu. Tetapi, di balik tembok sekolahmu lebih baik kiranya bagi ibu daripada riuhnya mall dan pikuknya jalanan metropolitan. Penyesalan selalu datang di belakang....

Kebun Pak Dhe luas. Dipenuhi bermacam-macam pepohonan. Sebut segala macam buah, hampir dipastikan ada di dalam kebunnya yang luas itu, yang ada di sisi lain dari rumahnya. Aku dan Wiwik mempunyai sebuah pohon favorit. Pohon jambu biji yang mempunyai banyak cabang, dan sangat mudah untuk dipanjat. Cabang-cabangnya hampir rebah semua, tidak menjulang ke atas, sehingga sangat nyaman untuk dijadikan tempat duduk-duduk atau bahkan rebahan. Kami berdua membagi pohon itu menjadi dua wilayah teritorial. Separo sebelah timur menjadi milikku, separo sebelah barat adalah miliknya. Setiap sepulang sekolah kami langsung menuju "rumah pohon" kami itu. Terkadang hanya untuk duduk-duduk sambil membaca buku cerita anak berbahasa Jawa, buku cerita satu-satunya yang aku punya pemberian seorang pak dheku, "Kuncung lan Bawuk". Meski telah dibaca berpuluh-puluh kali sampai bukunya kumel, kami tidak pernah merasa bosan mengulangnya. Dan sesekali membawa peralatan untuk rujakan, yaitu cobek dan ulekan. Buahnya terdiri dari jambu biji yang langsung kami petik di atas kepala kami ( serasa berada di dalam surga, yang sering Pak Anas kisahkan bahwa di surga nanti, bila ingin buah - apapun buah itu - tinggal memetiknya di atas kepala), mengkudu, pepaya muda, petai cina, dan babal ( Itu, tuh, bunga buah nangka). Sambil menahan rasa pedas rujak di mulut, kami berceloteh tak habis-habisnya. Menceritakan pengalaman selama sekolah. Bahkan, sering pula kami mengadakan "pesta" di atas pohon jambu itu. Yaitu, membawa aneka penganan dan limun dari rumah. Kami baru turun dari pohon bila mendengar teriakan Yu Bikem, pengasuh adikku, menyuruhku pulang untuk mandi sambil ngomel-ngomel. Itu tandanya hari telah menjelang senja. Barulah saat itu, kami merasakan rasa gatal menjalar di seluruh tubuh. Tubuh kami telah penuh dengan bekas gigitan nyamuk kebun.

Ada satu lokasi rahasia kami di kebun itu bila Ramadhan datang. Waktu itu aku kelas 3 SD, belum kuat untuk berpuasa sampai maghrib tapi tergiur dengan iming-iming baju baru yang banyak saat lebaran nanti. Jadi, sering aku dan Wiwik berpura-pura berpuasa penuh sampai maghrib, padahal sebenarnya tidak. Siang hari ketika orang-orang terbuai dalam istirahat tidur siangnya, kami bergerilya membawa makanan yang kami bawa dalam tlekem, tempat nasi atau bisa juga untuk tempat penganan yang terbuat dari janur yang dianyam. Bentuknya kotak seperti kotak dari bahan kertas daur ulang yang sekarang banyak di jual di toko-toko. Berhasil membawa tlekem yang penuh dengan menu makan siang, sisa menu sahur, kami terbirit berlari menuju kebun. Jugangan besar di kebun lah yang menjadi tujuan kami. Lubang yang dibuat untuk mengumpulkan sampah sebelum nantinya setelah sampah itu banyak ditimbun dengan tanah dijadikan kompos. Kotor dan banyak cacing, tentu. Tapi kami tutupi area itu dengan daun-daun kering yang banyak terkumpul di sudut jugangan, hasil Pak Dhe menyapu kebun. Kemudian kami makan dengan tenang, karena saking besarnya jugangan yang dibuat Pak Dhe menyebabkan kami, tubuh-tubuh kecil ini tidak akan terlihat orang yang banyak berlalu-lalang di luar pagar kebun. Setelah kenyang, kami tinggalkan tlekem itu di jugangan dan kami melenggang keluar dengan tertawa-tawa puas. Pulang ke rumah sebelum orang-orang bangun dari tidurnya, dan kami ikut ( pura-pura ) tidur siang. Bangun dengan menunjukkan wajah lesu karena berpuasa. Tentu saja tanpa merasa berdosa. Kami belum bisa benar-benar memahami kata-kata Pak Anas bahwa Allah Maha Mengawasi dan segala tingkah kita dicatat dengan teliti oleh dua malaikat yang selalu menempel di kedua pundak kita. Rasanya, itulah satu-satunya "kenakalan" kami yang luar biasa nakal.

Kolam ikan Pak Dhe luas. Seluas lapangan futsal. Isinya berbagai jenis ikan. Dari yang kecil-kecil sampai yang sebesar paha orang dewasa ada di kolam itu. Ada ikan Bandung yang warnanya meriah. Putih, merah, jingga. Kami menyebutnya ikan Bandung untuk sebutan ikan mas. Kata orang di kampung kami, karena ikan itu berasal dari Bandung. Ada ikan melem yang berwarna hitam dengan sisik halus. Aku senang dengan ikan melem ini, karena telurnya yang memenuhi seluruh rongga perut betinanya sungguh nikmat bila dimasak. Tetapi, dari semua ikan yang ada di kolam itu, ikan kalper-lah yang jadi ikan kesukaanku. Aku senang berlama-lama duduk di pinggir kolam itu, berteduh di bawah rimbunnya pohon markisa yang menjulur memenuhi anjang-anjang dari bambu, memperhatikan si cantik berwarna hitam dengan garis kuning kuat di punggungnya itu lincah menari-nari. Paling gesit gerakannya di antara para ikan penghuni kolam itu.

Di rumahku juga ada kolam. Tapi tidak sebesar kolam Pak Dhe. Dan kolam rumahku hanya berpenghuni ikan mujahir berwarna hitam kelabu yang rakus-rakus. Jadi aku lebih senang duduk-duduk di tepi kolam ikan Pak Dhe. Yu Bikem, yang telah menjadi ibu keduaku, jarang kesulitan mencariku. Bila tidak di atas pohon jambu biji, ya di pinggir kolam Pak Dhe ini. Aku akan tidak bisa dicari Yu Bikem bila acara mingguan tiba.

Setiap Minggu pagi, aku, Wiwik, dan beberapa teman lain telah melesat keluar rumah sambil membawa irig, seser, atau peralatan menangkap ikan lainnya untuk menyusuri kalen yang banyak bertebaran di sekitar desa kami. Tiada hari Minggu tanpa kegiatan pirig. Mencari ikan. Favorit kami adalah kalen Siwedhi karena paling banyak ikannya. Sayangnya, kalen ini menjulur membelah persawahan yang jauh dari rumah hingga keluar sampai desa tetangga. Sebenarnya, ikan yang kami peroleh tidak seberapa. Dan sudah dipastikan tidak bisa memenuhi quota untuk dimasak. Malah, yang sering terjadi, kami hanya mendapat ikan dalam hitungan jari tangan banyaknya. Itu pun hanya ikan bokol, uceng, dan gondhok yang kecil-kecil. Tetapi, keasyikan menyusuri kalen menimbulkan sensasi petualangan yang luar biasa. Bila lapar mendera, kami akan bergerilya nyiwil, yaitu mencari tanaman ubi jalar liar di lereng-lereng bukit tepi kalen, atau di pematang-pematang sawah. Karena pengalaman panjang, kami tidak pernah merasa sedikitpun kesulitan menentukan siwil yang berumbi atau tidak. Tanaman itu akan diketahui berumbi bila di ujung cabutan, batangnya membesar menunjukkan patahan ujung umbi. Bila tidak berumbi, batang tanaman akan lurus langsing tak membesar di ujungnya. Menyusuri kira-kira arah letak umbi juga hal yang sangat mengasyikkan. Ubi mentah yang kami peroleh itu kami makan setelah dicuci di kalen yang airnya masih jernih dijamin belum terkontaminasi polusi. Rasa ubi siwil selalu manis. Untuk perut yang keroncongan lapar, nikmatnya luar biasa. Sedangkan untuk minumnya cukup menyiduk air tuk yang banyak ditemukan di kaki perbukitan yang menjadi salah satu sisi kalen. Kami tidak menjadi sakit perut dengan memakan ubi mentah dan meminum air tuk itu. Tentu saja, pakaian kami sangat kotor karena hampir seluruh permukaannya tertutup tanah hitam kelabu lendut sawah yang bercampur tanah merah perbukitan. Meskipun setiap sorenya sepulang pirig ibuku - bila ada di rumah - atau Yu Bikem memarahiku, aku tidak pernah jera pirig.

Ini juga sebuah kemewahan yang tidak bisa aku berikan kepada kedua anakku. Karena masa kanak mereka lebih banyak berada di belantara hutan buatan yang berada di layar monitor komputer. Hanya sesekali aku dan suamiku membawa mereka menyusuri kalen dan persawahan di pinggiran kampung sekitar komplek rumah kami. Sudah tentu tak ada ikan yang bisa dipirig di kalen itu, karena kalen itu telah berubah fungsi menjadi selokan mampet berwarna hitam pekat dengan hiasan buih deterjen rumahtangga memenuhi permukaan airnya. Pernah suatu ketika suamiku membiarkan rasa penasaran anakku yang ingin jalan menggiring bola di atas selokan mampet itu. Hasilnya, sampai di rumah kedua kakinya penuh dengan ruam merah alergi, yang membuat berhari-hari tidak bisa tidur nyenyak karena sibuk menggaruk kedua kakinya itu. Apalagi untuk mengajarkan nyiwil. Mimpi kali, ya?

Kini, kami telah pulang ke kampung halaman. Aku dibuatnya terkesima. Kalen Siwedhi tak ada lagi. Bersama kedhung Munggang telah berubah wajah menjadi komplek perumahan. Dan julurannya yang ke arah selatan telah berubah menjadi asrama mahasiswa sebuah perguruan tinggi. Ya, lapangan bola di mana dulu kami bermain kasti telah berubah menjadi komplek perguruan tinggi. Kampung halaman kami, yang dulu sepi begitu jauhnya dari ibukota kabupaten, kini telah gemerlap oleh semaraknya kehidupan kampus. Kehidupan perekonomian ikut menggeliat bersama dengan semakin berkembangnya perguruan tinggi tersebut. Kampung kami telah berubah menjadi kota kecil. Inilah hidup, yang selalu bergerak mengikuti zamannya.

Tak ada lagi kutemukan anak-anak yang berkecipak di kalen, riuh berebut pirig, meskipun airnya masih sejernih seperti yang aku kenal dan ikan bokol, uceng, gondhok juga masih sebanyak dahulu. Tak ada lagi anak-anak yang riang menyusuri pematang sawah untuk hanya sekadar mencari kluban sawah, atau keong sawah untuk bekal menunggu waktu berbuka puasa. Tak ada lagi anak-anak yang asyik berumah pohon. Tak kulihat lagi semua itu di kampung kami. Permainan dan gaya kehidupan modern telah merampas kehidupan masa kanak-kanak mereka untuk dekat dan kenal dengan alam lingkungan . Padahal, bukankah tak kenal maka tak sayang?

Aku masih layak bersyukur, masih bisa membawa kedua anakku menapaktilas keceriaan masa kecil ibunya. Meskipun hanya di halaman rumah kami yang belum jadi, aku telah berhasil menujukkan asyiknya nyiwil. Alhamdulillah, meskipun awalnya sambil berwajah "Kami disuruh mencoba zaman primitif? Yang benar saja, Ibu?" lidah mereka bisa menikmati ubi siwil. Alhamdulillah, anakku masih bisa merasakan indahnya memetik ucen, ciplukan dan ranti, meski kami harus mengajaknya jauh ke pelosok desa di lereng gunung Sindoro. Dan yang paling menggembirakan bagi mereka adalah saat pertama kali melihat beberapa kunang-kunang - yang seumur-umur mereka bahkan untuk hanya membayangkan rupa bentuknya pun sangat sulit - berkeliaran terbang di belakang rumah kami. Aku bersyukur, meski mereka telah beranjak remaja, tapi masih bisa merasakan sedikit keceriaan anak-anak. Keceriaan yang murah, tetapi sangat istimewa. Seistimewa hidup ini.

Wik, terima kasih atas kenangan indah di masa kecil kita....

Senin, 19 September 2011

TIADA YANG ABADI

Seperti judul lagunya Petterpan saja....!
Tapi ini soal sangat serius...Hari ini aku dibuat terkesiap, gemetar, merinding, yang menyebabkan hilangnya segala nafsu kesenangan.

Ketika aku sedang menerjang batas cakrawala, menyoba bersama para sahabat yang sedang berktakziah mbak Yungky, sebuah sms mengisi handphone-ku "Assalam ukhtifillah...kaifa haluki? Say aku mau minta tolong nih, tapi gak buru2 lho. BIKININ AKU PUISI DONK. judulnya "TIADA YG ABADI" intinya: kekuatan, kecantikan, kepintaran, kekayaan, jabatan kan hilang dengan kembalinya kita pada SANG PENCIPTA. yang tinggal hanya kebaikan pada sesama (jika ada dan banyak) Jazakillah ya"

Aku terjerembab jatuh dalam nestapa. Keindahan pagi yang berselimut halimun raib seketika. Tiada yang abadi...
Keinginan mempercantik tampilan rumah, menata seluruh ruang yang ada supaya seperti yang ada dalam sebuah tabloid property yang baru aku baca, beterbangan bersama menipisnya kabut pagi. Hilang terkoyak karena sms magis itu...

"Alhamdulillah ana bil khaiir...Sungguh berat terasa amanahmu itu, ukhti...Jangankan puisi, menulis yang lain aja sekarang tergagap2 lebih sering mentok di tengah jalan...Kok tiba2 menghendaki puisi maha dahsyat gitu, gerangan apakah?"

Pagi itu, di antara ingatan ke para sahabat yang sedang bertakziah mbak Yungky, akhirnya berbalas sms. Sms yang menggetarkan sendi-sendi hati...

"Ya say aku minta tolong pada dikau dengan pertimbangan banyak sekali dikau berhadapan dengan orang2 sakit di mana di situ segala yang diberikan Allah nyaris hilang. renungan2 dikau aku harapkan dinda," balasnya atas pertanyaanku.

Aku tercekik. Bagaimana mungkin, seorang "sekelas" sahabatku ini meminta renungan-renungan dariku? Aku, yang masih sangat sering terbata-bata meniti hidup, terkadang oleng karena terpaan ujian, yang kadang masih gamang meretas jalan? Benarkah?

"Hiks...Tidakkah BILA WAKTU T'LAH BERAKHIR-nya Opick, dan KETIKA MULUT TAK LAGI DAPAT BICARA-nya Chryse sudah begitu dahsyat berbicara? Kalau pasienku kebanyakan mengajarkan JANGAN SAKIT karena sakit menjadikan kita miskin...padahal, kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran, bukan?"

"Puisi itu kan kutujukan buat diriku juga orang2 di sekelilingku, baik yang dekat maupun yang agak jauh. Agar kami bisa terhindar dari KESOMBONGAN, EGOIS, AMARAH JUGA TIPU DAYA SETAN LAINNYA. Please dear...pelan2 saja. 1 malam 1 baris juga gak apa2"

"Gak janji, ya, mbakyu...kuusahakan sekuat yang kumampu..."

"Semoga adindaku dapat mempersembahkan yang indah dan menggugah untuk hati2 yang gundah...Yu huy...aku lagi melankolis nih," sambutnya. Aku dapat merasa ada rasa girang di dalamnya, meskipun melankolis.

Tiba-tiba, sms lain menyeruak di antara aliran smsku.
"Alhamdulillah aku sempat melihat jenazahnya dan mensholatinya... Subhanallah jenazahnya say...cantiiikkk...kaya lagi tidur..."

Terpelanting aku ke jurang tak berdasar. Gelap, tetapi banyak kunang-kunang...

Hari ini, begitu banyak dzikrul maut - mengingat kematian - yang ALLAH kirimkan untuk kurenungkan. Seorang sahabat yang ALLAH kirimkan memintaku membuat puisi akan kematian, dan seorang sahabat lagi yang mengirimkan warta tentang berpulangnya salah satu sahabat terbaik yang telah menyelesaikan tugas berjuang melawan keganasan dengan wajah tersenyum. Inilah salah satu cara ALLAH mengajarkanku untuk istiqomah di jalan niat semula. Kembali ke kampung halaman adalah langkah hijrah, mencari ladang amal sholih dan berharap bisa berbuah surga. Bisakah aku juga tersenyum ketika ALLAH memanggilku?


Senin, 12 September 2011

RUMAH TERAKHIR DUNIA

Jum'at 3 Syawal 1432 H, 2 September 2011 resmilah kami menempati rumah baru kami. Semoga ini menjadi rumah terakhir kami di dunia. Hitung-hitung, sejak menikah kami sudah berpindah rumah sebanyak delapan kali. Lebih banyak dari pindahnya seekor kucing beranak. Pejaten, Harapan Baru, Pasirukem, Harapan baru, BBD, Permata Puri Laguna ( atas ), Permata Puri Laguna ( bawah ), Kp. Sabuk Alu, dan berakhir di sini : Jl. Dieng KM 3 No 79B Kalianget-Wonosobo.

Banyak teman yang bertanya-tanya gerangan apa mendadak pulang kampung. Dengan bercanda, kujawab kalah berperang melawan garangnya ibu kota Jakarta hehehe...
Bukan itu tentu alasana sebenarnya. Pulang kampung adalah cita-cita kami berdua, aku dan suami. Rencana awal memang, setelah anak-anak kuliah, kami berdua pulang kampung. Membuat basecamp di kaki gunung Sindoro. Melakukan perjalanan wisata, singgah beberapa lama di kota yang kami senangi, menuliskannya. Dan melakukan rehat perjalanan dengan "menemani" kost anak-anak yang sedang kuliah. Bila mereka kuliahnya tak sekota, digilir. Menyenangkan, bukan?

Ternyata, tak harus menunggu anak-anak kuliah. Di tengah perjalanan ekspedisinya, "Kita pulang ke Wonosobo setelah saya selesai ekspedisi, bagaimana?" tanya suamiku via sms. Entah, racun apa yang ditiupkan suamiku, aku seketika mengiyakan. Kontrak rumah akan selesai, Aulya rampung SMP, dan - baik aku maupun suamiku - tak terikat oleh pekerjaan yang mengharuskan berumah di Jakarta. Lebih dari itu, Jakarta tidak kondusif untuk kelanjutan sekolah anakku. Menurut kami berdua. ( Alif, si sulung, kami sekolahkan di Cirebon. Sekolah berasrama ). Aulya, yang semula keberatan pindah, akhirnya mau setelah kami memaknai kepindahan ini sebuah langkah hijrah.

Dan, di rumah inilah sekarang kami..
Pagi kedua di rumah baru, suamiku berdua Alif duduk-duduk di teras belakang yang menghadap bukit kecil di seberang sungai yang airnya mengirim suara gemericik surgawi dan melintasi pematang sawah yang mulai ditanam padi. "Serasa rumah villa, ya, Pak," ujar Alif sambil mengudap serabi yang dibeli bapaknya.

Untuk ukuran kami yang telah berpuluh tahun terbiasa hidup di pinggiran metropolitan Jakarta dengan rumah tanpa halaman, tembok dinding rumah harus berbagi dengan tetangga, dan sejauh-jauh mata memandang hanyalah bangunan-bangunan rumah, menemukan suasana baru yang sungguh sangat kontras adalah sebuah kemewahan yang luar biasa istimewa.

Suamiku tersenyum. "Kamu senang, Nak?"

Sulungku mengangguk.

"Sayang, nih, satu yang kurang..."

"Apa?"

"Nggak boleh merokok..." Suara suamiku terasa masygulnya.

"Katanya hijrah euy..."

Berkali-kali kutekankan, kepindahan kali ini adalah hijrah. Bukankah hijrah selalu bermakna menuju ke kebaikan? Bukankah dari merokok menjadi tidak merokok juga sebuah kebaikan? Coba dilihat dari sisi manapun - kecuali dari sisi penjual dan produsen rokok, tentu saja - tidak merokok pasti lebih baik dari pada merokok. Meski harus pakai sedikit ancaman, akhirnya suamiku mau untuk tidak merokok.

Inilah rumah kami. Semoga menjadi rumah terakhir dunia kami. Semoga menjadi rumah yang dirahmati, diridhai, dan diberkahi ALLAH. Semoga rumah ini dapat menjadi ladang amal shalih bagi para penghuninya yang ALLAH ridhai sehingga layak menjadi bekal kami menuju surgaNya. Dan, semoga keluarga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Semoga rumah ini menjadi surga kami. Meski tak bermeja-kursi :)

Robbana anzilna munzallan mubaarakan wa anta khayrulmunziliin, Ya Tuhan kami, tempatkanlah kami pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.

Minggu, 14 Agustus 2011

ASIH

Inilah kisah kelam perjalanan berpraktikku...

Wajah putihnya yang berhiaskan tahi lalat di ujung bibir kanannya selalu menunjukkan sendu. Bahkan saat dia sedang tertawa riang.

Di awal pertemuan dia mengeluhkan nyeri kepala sebelah kanan. Hampir dua tahun lalu. Karena dari hasil pemeriksaan fisik tidak kutemukan adanya kelainan, waktu itu aku hanya memberikan pereda rasa sakit. Kontrol pertama setelah pemberian obat itu, dia bilang enakan bisa tidur. Tetapi aku mulai meragukannya ketika kunjungan berobatnya semakin sering dan obat yang diperlukan untuk meredakan nyerinya itu harus ditambah dosisnya.

Empat bulan tak ada perbaikan berarti, aku menyarankan untuk konsultasi ke spesialis syaraf. Dia menolak. Kuulang pemeriksaan dari awal. Mata, telinga, mulut, tak juga kutemukan kelainan yang bisa menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala. Masuklah aku ke diagnosis "keranjang sampah", psikosomatis.
Selama pernikahannya yang memasuki tahun ke empatbelas, dia tinggal di rumah mertuanya. Bersama-sama dengan para iparnya yang empat orang itu, ditambah dengan para istri atau suami masing-masing. Belum lagi para keluarga kecil itu masing-masing mempunyai anak, paling tidak dua. Sementara suaminya bekerja di Jakarta, pulang dua pekan sekali ketika hari liburnya jatuh di hari Minggu. Sedangkan dia di sini tidak mempunyai saudara ataupun kerabat, karena keluarga besarnya ada nun jauh di ujung Pelabuhan Ratu sana.
Dan setelah sekian lama berkutat dengan diagnosis keranjang sampah itu, rasa penasaran mulai menjalari lekuk liku isi kepalaku. Aku mulai dihinggapi rasa ragu dengan diagnosis keranjang sampah yang kubuat sendiri itu.

"Apa tidak sebaiknya Ibu ikut suami saja ke Jakarta?"

Wajah sendu itu tersenyum. "Tidak, Dok. Kasihan anak-anak. Sekolahnya bagaimana nanti? Di Jakarta tentu sulit dan biayanya pasti lebih mahal dari sini"

Aku menghela nafas. Menyari ruang dada agar lebih lapang.

"Kalau begitu, Ibu mau, ya, saya rujuk ke spesialis syaraf agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut? Insya Allah tidak ada tambahan biaya, Bu."

Wajah sendu putihnya terpekur agak lama, sebelum akhirnya berkata, "Nunggu awal bulan, boleh, kan, Dok? Nunggu suami gajian. Meski tidak ada biaya tambahan, kan, tetap memerlukan uang transport, meureun?"

"Siiippp... Oke, insya Allah awal bulan, ya?"

Hampir satu tahun kemudian, pada saat aku telah melupakan sosoknya, tiba-tiba dia muncul kembali di ruang praktik dituntun ibu mertuanya. Sontak aku terkejut tak kepalang.

"Maaf, Dok.. Mata kanan saya tidak bisa melihat," ujarnya dengan sesungging senyum. Seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku.
"Maaf juga, ya, Dok, lama tidak berobat. Tidak ada yang bisa mengantar." Dia memberikan senyum yang masih sama dengan senyum yang kukenal selama ini. Sementara aku? Aku masih tergugu kelu tak mampu berucap apa-apa.

Dia kemudian berkisah. Sejak dua bulan lalu mata kanannya makin meredup hingga benar-benar tidak dapat untuk melihat. Nyeri kepala semakin menghebat, menyebabkan dia seakan lumpuh. Tak bisa beranjak dari tempat tidur.

Sekarang akulah yang lumpuh! Seluruh tulang serasa dilolosi dari tubuh. Bodohnya diriku... Mengapa tidak terbersit sedikitpun arah diagnosis menuju yang satu itu? Tak mampu kutahan, airmata telah menyusuri kedua pipiku meluncur jatuh ke pangkuanku. Ah, lupa sudah ajaran guru dan seniorku, bahwa tak boleh memperlihatkan tangis di depan pasien. Empati...Empati...Empati... Rasa yang ada liar menabrak-nabrak dinding sanubari tanpa mampu kukendalikan. Telah sering aku merasa menjadi seorang dokter yang bodoh, dan inilah kali pertama aku merasa sangat-sangat bodoh.

"Maafkan saya, Bu," ujarku mencoba mengalahkan rasa liar itu. "Saya abai terhadap kemungkinan ini."

"Kenapa, Dok?"

Lidahku kelu. "Ibu saya rujuk ke spesialis syaraf kembali, ya? Biar dilakukan CT-Scan, yaitu pemeriksaan foto kepala selapis demi selapis sehingga akan dihasilkan foto bagian kepala dengan lebih detil."

Kesunyian sesaat menyelimuti ruang periksa, sebelumn akhirnya ibu mertuanya berkata. "Harus, ya, Dok? Memangnya sakit apa anak saya, Dok?"

"Iya, Bu." Aku berusaha keras menguasai perasaan yang hendak memberontak liar kembali. "Maaf, ya, Bu, ini salah saya. Saya terlalu abai mengarah ke kemungkinan penyakit ini. Kemungkinan, yang menimbulkan nyeri di kepala Bu Asih, dan yang sekarang menyebabkan mata kanan tidak bisa melihat adalah adanya tumor di dalam kepala. Untuk memastikan betul tidaknya, salah satu caranya adalah dengan pemeriksaan CT-Scan. Insya Allah pemeriksaan ini ditanggung asuransi, kok, Bu."

Asih dan ibu mertuanya saling pandang. Berdialog dengan mata yang tak lagi lengkap bisa melihat.

"Baiklah, Dok. Bagaimana baiknya menurut Dokter saja," Asih mengalihkan pandangannya kepadaku.

***

Beberapa bulan sejak itu, aku galau dengan profesiku. Rasa bersalah tak mau juga enyah. Sosok Bu Asih menari-nari di seluruh ruang benakku, meskipun berkali-kali Bu Asih berkata padaku "Tidak apa-apa, Dok. Tidak apa-apa." setiap aku menyampaikan penyesalanku.

Benar, ternyata ada tumor yang mendesak otaknya dan menekan syaraf mata.
Sebulan lalu telah diangkat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hanya sebagian kecil biaya operasi itu yang ditanggung asuransi.

"Suami hampir pingsan, Dok, ketika harus membayar kekurangannya yang dua belas juta. Soalnya dia hanya membawa uang lima ratus ribu," ujarnya dengan senyum yang itu-itu juga.

"Alhamdulillah, Dok, pihak rumah sakit baik banget. Suami hanya diminta tandatangan kesanggupan mengangsur tiap bulan dengan besar angsuran terserah sampai hutang lunas," sambungnya ketika menyadari aku terdiam lama.

***

Dan inilah Asih yang sekarang. Sejak operasi pengangkatan tumor itu, kedua matanya tak dapat lagi melihat. Tapi, Asih telah berubah menjadi perempuan perkasa. Wajah sendunya menghilang. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk belajar dengan dunia barunya yang gelap. Dunianya memang gelap, tetapi tidak dengan hatinya. Keikhlasannya menuntun dirinya menjadi perempuan luar biasa.

Meringankan beban suaminya, dia berjualan makanan kecil-kecilan. Dengan dunia barunya dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Allah mengambil satu bagian darinya, tetapi memberi kelebihan bagian yang lain. Hal yang nampak buruk di mata kita, belum tentu benar-benar buruk bagi kita.

"Jangan takut salah, Dok. Yang penting, berani belajar dari kesalahan. Apa yang terjadi pada diri saya memang sudah suratan Yang Maha Kuasa, bukan kesalahan Dokter."

Hari ini, aku belajar banyak dari seorang pasien yang bernama Asih.

Minggu, 31 Juli 2011

RAMADHAN 1432 H

Bismillah...
Senin 1 Agustus 2011 adalah hari pertama Ramadhan 2011. Ramadhan kali ini menjadi Ramadhanku yang pertama di Wonosobo. Ada banyak yang hilang...

Kegiatan yang biasa kulalui di Laguna, belum dapat kutemukan.
Laguna... Pada perjalanan, di titik inilah kutemukan tempat dimana aku bisa melihat lebih jernih setiap langkahku, baik yang sudah ataupun sedang berlangsung. Di titik inilah, kutemukan ketenangan jiwa. Di titik ini pula kudapatkan banyak sahabat dan saudara. Padahal di titik ini pula, secara materi aku bukan siapa-siapa. Dan, tidak punya apa-apa selain sepotong hati yang terbasuh hidayah.

Hidayah? Begitu percayadirikah aku menyebut diriku telah mendapat hidayah?
Ustadz Farid Nu'man pernah mengatakan bahwa hidayah itu seperti stop kontak listrik yang terpasang di dinding, di mana telah ada arus listrik dari PLN. Tinggal kita mau tidak menyalakan stop kontak listrik itu. Dan, aku semakin tak risau dengan apa pun yang melingkupi perjalanan ini. Dan di sebuah titik di sudut Laguna, kutemukan pula bahwa hidup ini adalah ujian. Ujian dengan sistem open book. Dengan bekal itulah, aku merasa hatiku telah terbasuh hidayah. Semoga bukan hanya impian kosongku belaka...

Betapa indahnya perjalananku di lorong Laguna. Apalagi di saat Ramadhan seperti ini. Taman surga yang terhampar di dunia menarik-narikku untuk selalu memasukinya.

Dan di sini sekarang, di Wonosobo - tempat aku dan keluargaku meniatkan sebagai basecamp - aku harus memulai segalanya dari nol. Hanyalah satu pintaku pada Allah rabb Sang Maha Pemberi, jangan surut langkah ini. Tidakkah merugi langkah yang surut itu? Dan, aku tak ingin pula terpaku pada jejak bayang masa lalu, betapapun pahit ataupun indah bayang itu.

Ramadhan pertamaku di Wonosobo. Smoga menjadi tonggak perjalanan hidayah yang lebih bercahaya karena setiap helaan nafas dan kedipan mata adalah jalan pasti menuju Allah...

Ya Allah, jadikan tempat kami bermukim sekarang ini sebagai ladang amal sholih bagi kami yang Engkau ridhoi dan Engkau rahmati sebagai bekal menujuMu. Aamiin ya Allah ya robbal 'alamiin.

Jumat, 04 Maret 2011

ANAKKU

Aku tak sanggup membendung jatuhnya airmata.
Begitu pasien terakhir keluar ruang periksa, aku terguguk seketika. Deraan rasa ngilu memukul dinding hatiku. Seketika wajah bulat dengan rambut ikalnya menari-nari di pelupuk mata, menambah kepedihan yang semakin menggigit kuat.

Ibu macam apa aku ini?

Ketakutan menyergapku ketika gambaran “Sybil, Gadis dengan 16 Kepribadian” yang kubaca saat kuliah beberapa tahun lalu menyeruak begitu saja. Sosok orangtua Sybil tiba-tiba telah menjelma dalam diriku. Semakin menyadarinya, semakin deras airmata mengalir. Membasahi buku register di atas meja.

Maafkan ibumu, Nak...

Hari ini kunjungan pasien ke ruang praktikku sebagian besar anak-anak. Bayangkan, dari berpuluh-puluh pasien anak-anak itu – pasti dengan karakter pribadi berbeda satu dengan lainnya – aku mampu dan mau untuk menghadapi mereka dengan sikap layaknya seorang ibu, bisa menebar senyum penuh pesona, bercengkerama dan bercanda dengan penuh riang, memberi nasehat dengan bahasa anak-anak, bisa mengerti dan memahami tingkah laku dunia mereka! Pokok kata, aku bisa menjadi dokter, ibu, sekaligus teman mereka!

Gila! Sungguh gila!

Sebelum berangkat praktik di klinik ini, aku adalah seorang monster bagi anakku sendiri! Anakku yang berusia sebaya dengan kebanyakan pasien-anakku hari ini : tujuh tahun!

Ah, wajah bulat dengan rambut ikalnya itu kembali mengoyak relung hatiku hingga menjadi serpihan-serpihan sembilu. Pedih nian sakit ini....

***

Wajah bulat dengan rambut ikal itu telah terlelap dengan sesungging senyum di bibirnya. Aku mendekatinya tanpa kata.

Tak seharusnya engkau menerima luapan masalah ibumu, anakku...
Tak sepantasnya engkau merasakan semua risau hati ibumu, anakku...
Seharusnya engkau hanya mencecap manis masa kanakmu sebagaimana seharusnya seorang anak mengenyam dunianya, tak harus direcoki dengan masalah-masalah dewasa orangtuamu, anakku...

Dunia dewasa memang dunia rumit yang penuh warna, anakku...
Warna itu memang tak selalu seindah pelangi. Terkadang laksana awan hitam yang membuat ciut nyali. Mendung, kelam. Bahkan terkadang gelap hingga tak mampu melihat kedalamannya. Padahal siapa tahu, anakku, di balik gelapnya itu sebenarnya terhampar saputan warna pelangi.
Dan seharusnya, sekelam apapun warna dunia dewasa, tak pantas menyeret jiwa ceria kanak-kanakmu ke dalam pusarannya, anakku...

Lihatlah wajah bulat dengan rambut ikal yang terlelap itu. Tak secuil pun menampakkan bekas luka jiwa. Padahal gelegar suara dan sikap kasarku telah merobek lumat jiwa tak berdosanya itu. Pantaskah surga berada di bawah telapak kakiku?

Maafkan ibumu, Nak...( Ahhh... masih layakkah sebutan “ibu” untukku? )
Hanya karena perilakumu melewati batas perilaku sewajarnya.
Hanya karena engkau kini lebih sering berkata lebih keras dari biasanya.
Hanya karena prestasi akademik sekolahmu meluncur jatuh tak berperingkat.
Hanya karena itukah sanggup mengguncang emosiku hingga kalap gelap mata setiap mengahadapimu?

Ah, bila dikorek jauh ke kedalaman jiwa, sebenarnya di sana akan terlihat alasan sesungguhnya. Engkau merupakan sasaran yang tepat sebagai pelampiasan ketakberdayaanku menghadapi ujian dunia yang beruntun. Layakkah sebutan “ibu” bagiku?
Sebaik-baik seorang ibu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Aku malah terbalik. Di luar rumah, dengan anaknya orang lain bisa bersikap manis. Di rumah, dengan anak sendiri beringas laksana harimau lapar. Anakku telah menjadi keranjang sampah kemarahanku. Layakkah sebutan “ibu” bagiku?

***

Anakku...
Kini aku bisa memandangmu dengan jernih dalam lelapmu. Engkau begitu manis. Engkau begitu damai. Engkau menyejukkan pandangan mata. Merontokkan kepenatan mengejar kesenangan dunia yang memperdaya..

....
Hanya ketika air mengalir dari sungai ke sungai mencapai teluk yang luas dan tenang atau masuk ke bendungan atau telaga kecil yang hening – hanya setelah itu, kita bisa melihat setiap daun pepohonan di tepinya, setiap kepingan awan dan keluasan birunya langit di kehalusan permukaannya yang laksana cermin.*)
....

Tak tahan, kutarik tubuh lelap itu untuk kupeluk sepenuh hati. Aku tidak peduli sekalipun seandainya wajah bulat dengan rambut ikalnya itu terbangun akibat tindakanku itu. Tidak, ternyata wajah bulat dengan rambut ikalnya itu tetap dalam lelapnya.

Kulihat sepotong kertas di dekat bantalnya. Refleks tanganku meraihnya. Tangisku kembali pecah, dalam sedu-sedan yang tertahan...
for my beloved Mom...I’m sorry i haven’t give you the best. But i’ll try to. Thanks for all. You’re the best mom in the whole world forever.

Jiwaku luruh tak bertenaga. Jatuh melayang dalam gelap...

Ya Allah, Rabb yang Maha Pengampun...
Ampuni hamba, seorang ibu yang zholim ini.. Seorang ibu yang tak layak menjadi ibu..
Beri hamba kesempatan untuk memperbaiki diri dalam mendampingi amanah dariMu yang Engkau titipkan padaku, hingga kelak dia bisa menjadi jaminan surga bagiku...

Kucium wajah bulat dengan rambut ikalnya itu dengan penuh cinta yang tiba-tiba telah memenuhi seluruh ruang hatiku.
Maafkan ibumu, Nak...

*)REFLEKSI, Alexander Solzhenitsyn. Penerjemah Farid Gaban, dalam Berita Buana Minggu 27 Januari 1991

Kamis, 24 Februari 2011

MASA -MASA KULIAH

Kalau ditanya pengalaman yang tidak bisa terlupakan selama masa kuliah, dengan cepat dan sigap tentu akan kujawab “Kantor Polisi!”

Aku lupa saat co-ass stase di mana. Yang jelas, aku habis jaga malam. Selesai mengikuti visite dan presentasi kasus, aku lelah dan ngantuk yang sangat. Eliza – semoga Allah merahmatinya – sepertinya sangat mengerti kondisi tidak sehatku itu. Ia mengangsurkan kunci motor, “Ini, Kum, pakai saja. Kamu pulang, gih, sana, biar bisa tidur.”

Kuterima kunci itu dengan penuh terima kasih. Sempoyongan menahan kantuk, aku menuju tempat parkir di belakang gedung perawatan rumah sakit. Dalam kantukku, tempat yang biasanya hanya ditempuh tak lebih lima menit, terasa sangat jauh. Begitu melihat motornya Eliza, langsung saja kumasukkan kunci motor dan kustarter tanpa peduli untuk menyocokkan plat nomor polisinya. Berhasil. Melajulah pulang ke kos-kosan. Langsung tertidur lelap sesampainya. Terbangun ketika suara Eliza menggedor dinding telingaku.

Kantukku seketika hilang. Eliza bilang aku salah membawa motor. Dan terdengar kabar bahwa Harry Poerwoko kehilangan motor. Kacau!

Akhirnya aku diantar Eliza, Djoko, dan Cahyono ( matur nuwun, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua ) menuju rumah Harry untuk “menukar” motor. Terlambat! Harry sedang ke kantor polisi Mlati. Kami segera mengejarnya ke sana.

Seumur hidupku itulah pertama kali – dan semoga yang terakhir kali juga – aku diperiksa di kantor polisi. Seluruh tubuh basah karena banjir keringat, akibat dentuman jantung yang tidak terkendali. Takutku melumat habis tulang-belulangku.

Selesai dimintai keterangan, aku disuruh untuk merekonstruksi menghidupkan motor yang kubawa ( motornya Harry, yang sama merk dengan punya Eliza ) dengan kunci yang kupegang ( kunci motor Eliza ). Alhamdulillah, motor bisa menyala. ( Bayangkan kalau tiba-tiba motor ngadat nggak mau hidup! Meskipun para sahabat bisa melihat bahwa dengan motor Harry-lah aku dibonceng Cahyono ke rumah Harry dan ke kantor polisi, ngeri juga membayangkan seandainya motor ngadat di depan polisi pemeriksa. Hiiiii.... )

Allah mengingatkanku dengan cara-Nya. Dari peristiwa ini, kuazzamkan, aku nggak akan teledor lagi. Celaka dua belas kalau tidak teliti. Dalam kondisi apa dan bagaimanapun, profesi dokter menuntut untuk tetap teliti.

***

Aku juga mempunyai pengalaman lain. Waktu itu, sih, pengalaman tersebut sangat menyebalkan. Tetapi sekarang, ketika mengingatnya, lucu dan menyenangkan...( terima kasih kepada Nugroho, Cahyono, Djoko, Eliza, dan Retno yang telah menjadi teman perjalanan kisah ini, juga kepada sang dosen yang telah mengajarkan makna berjuang )

Mendekati judicium Sumpah Dokter. Hanya IKK yang belum keluar nilainya. Padahal tenggat waktu sudah mepet. Itu gara-gara seorang dosen yang nggak mau memberi nilai responsi. Dari rayuan maut manis setengah mati sampai gebrak-gebrakan meja, sang dosen tetap bergeming. Beliau tetap tidak mau memberi nilai. Duh, berkuasa laksana Tuhan, di hadapan kami sahaya tak berdaya. Entah apa yang ada dalam benak beliau, meninggalkan kami pergi ke Solo. Sahaya tak berdaya yang berjumlah ( kalau tidak salah ) enam orang ternyata digdaya. Kami kejar sang dosen penuh semangat murka para dewasa setengah matang.

Bertanya kepada yang empunya rumah, sang dosen sedang pergi keluar. Keenam wajah kecewa mendengarnya. Tapi, aku tidak ingat apakah ada serapah yang keluar. Yang terpateri dalam ingatan, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu di halaman seberang rumahnya. Mengintai bak detektif Conan, kiranya sang dosen segera pulang. Tunggu punya tunggu, tak juga harapan muncul. Hingga rembulan yang menemani kami mulai tergelincir ke arah barat. Terserang rasa kantuk dan lelah, kami menyerah dan pulang. Bermalam di rumah Nugroho.

Pagi sekali pompa semangat dihembuskan ayah Nugroho. Melesatlah kami kembali ke rumah sang dosen ketika matahari baru saja sejengkal dari cakrawala. Ternyata sang dosen sedang berlibur di Tawangmangu. Menyerahkah kami? Tidak! Karena kalau menyerah, artinya kami harus menunggu periode berikutnya untuk ikut Sumpah Dokter baru. Yang entah berapa bulan lagi.

Seharusnya perjalanan ke Tawangmangu adalah perjalanan wisata yang menyenangkan. Tapi, jangankan tawa riang, bahkan kata-kata pun hanya hitungan jari. Kami kehilangan warna jiwa kami, yang biasanya penuh canda dan gelak tawa...

Alhamdulillah, tak sulit menemukan vila tempat sang dosen bermalam. Beliau keluar menemui kami. Dengan senyum! Aku menangkapnya sebagai sesungging kemenangan. Tapi, ah, ini bukan tentang menang-kalah karena memang bukan ajang perlombaan. Buku responsi akhirnya bertandatangan beliau.

Bak lesatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya, Nugroho membawa kami pulang langsung menuju fakultas karena tenggat waktu hari itu jam dua siang.

Lihatlah kawan, foto kami di depan Balairung menjelang sumpah diselenggarakan. Semua tersenyum bahagia. Tidak ada lagi jejak-jejak penat dan lelah – baik fisik maupun psikis – yang menyemaskan sepanjang perjalanan pencapaian menuju seorang dokter! Kami diberinya jalan berliku menujunya agar kami mampu untuk selalu bersyukur dan tetap menggenggam semangat di kalbu dalam setiap langkah kehidupan yang tidak selamanya mulus seperti jalan tol.