Kamis, 24 Februari 2011

MASA -MASA KULIAH

Kalau ditanya pengalaman yang tidak bisa terlupakan selama masa kuliah, dengan cepat dan sigap tentu akan kujawab “Kantor Polisi!”

Aku lupa saat co-ass stase di mana. Yang jelas, aku habis jaga malam. Selesai mengikuti visite dan presentasi kasus, aku lelah dan ngantuk yang sangat. Eliza – semoga Allah merahmatinya – sepertinya sangat mengerti kondisi tidak sehatku itu. Ia mengangsurkan kunci motor, “Ini, Kum, pakai saja. Kamu pulang, gih, sana, biar bisa tidur.”

Kuterima kunci itu dengan penuh terima kasih. Sempoyongan menahan kantuk, aku menuju tempat parkir di belakang gedung perawatan rumah sakit. Dalam kantukku, tempat yang biasanya hanya ditempuh tak lebih lima menit, terasa sangat jauh. Begitu melihat motornya Eliza, langsung saja kumasukkan kunci motor dan kustarter tanpa peduli untuk menyocokkan plat nomor polisinya. Berhasil. Melajulah pulang ke kos-kosan. Langsung tertidur lelap sesampainya. Terbangun ketika suara Eliza menggedor dinding telingaku.

Kantukku seketika hilang. Eliza bilang aku salah membawa motor. Dan terdengar kabar bahwa Harry Poerwoko kehilangan motor. Kacau!

Akhirnya aku diantar Eliza, Djoko, dan Cahyono ( matur nuwun, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua ) menuju rumah Harry untuk “menukar” motor. Terlambat! Harry sedang ke kantor polisi Mlati. Kami segera mengejarnya ke sana.

Seumur hidupku itulah pertama kali – dan semoga yang terakhir kali juga – aku diperiksa di kantor polisi. Seluruh tubuh basah karena banjir keringat, akibat dentuman jantung yang tidak terkendali. Takutku melumat habis tulang-belulangku.

Selesai dimintai keterangan, aku disuruh untuk merekonstruksi menghidupkan motor yang kubawa ( motornya Harry, yang sama merk dengan punya Eliza ) dengan kunci yang kupegang ( kunci motor Eliza ). Alhamdulillah, motor bisa menyala. ( Bayangkan kalau tiba-tiba motor ngadat nggak mau hidup! Meskipun para sahabat bisa melihat bahwa dengan motor Harry-lah aku dibonceng Cahyono ke rumah Harry dan ke kantor polisi, ngeri juga membayangkan seandainya motor ngadat di depan polisi pemeriksa. Hiiiii.... )

Allah mengingatkanku dengan cara-Nya. Dari peristiwa ini, kuazzamkan, aku nggak akan teledor lagi. Celaka dua belas kalau tidak teliti. Dalam kondisi apa dan bagaimanapun, profesi dokter menuntut untuk tetap teliti.

***

Aku juga mempunyai pengalaman lain. Waktu itu, sih, pengalaman tersebut sangat menyebalkan. Tetapi sekarang, ketika mengingatnya, lucu dan menyenangkan...( terima kasih kepada Nugroho, Cahyono, Djoko, Eliza, dan Retno yang telah menjadi teman perjalanan kisah ini, juga kepada sang dosen yang telah mengajarkan makna berjuang )

Mendekati judicium Sumpah Dokter. Hanya IKK yang belum keluar nilainya. Padahal tenggat waktu sudah mepet. Itu gara-gara seorang dosen yang nggak mau memberi nilai responsi. Dari rayuan maut manis setengah mati sampai gebrak-gebrakan meja, sang dosen tetap bergeming. Beliau tetap tidak mau memberi nilai. Duh, berkuasa laksana Tuhan, di hadapan kami sahaya tak berdaya. Entah apa yang ada dalam benak beliau, meninggalkan kami pergi ke Solo. Sahaya tak berdaya yang berjumlah ( kalau tidak salah ) enam orang ternyata digdaya. Kami kejar sang dosen penuh semangat murka para dewasa setengah matang.

Bertanya kepada yang empunya rumah, sang dosen sedang pergi keluar. Keenam wajah kecewa mendengarnya. Tapi, aku tidak ingat apakah ada serapah yang keluar. Yang terpateri dalam ingatan, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu di halaman seberang rumahnya. Mengintai bak detektif Conan, kiranya sang dosen segera pulang. Tunggu punya tunggu, tak juga harapan muncul. Hingga rembulan yang menemani kami mulai tergelincir ke arah barat. Terserang rasa kantuk dan lelah, kami menyerah dan pulang. Bermalam di rumah Nugroho.

Pagi sekali pompa semangat dihembuskan ayah Nugroho. Melesatlah kami kembali ke rumah sang dosen ketika matahari baru saja sejengkal dari cakrawala. Ternyata sang dosen sedang berlibur di Tawangmangu. Menyerahkah kami? Tidak! Karena kalau menyerah, artinya kami harus menunggu periode berikutnya untuk ikut Sumpah Dokter baru. Yang entah berapa bulan lagi.

Seharusnya perjalanan ke Tawangmangu adalah perjalanan wisata yang menyenangkan. Tapi, jangankan tawa riang, bahkan kata-kata pun hanya hitungan jari. Kami kehilangan warna jiwa kami, yang biasanya penuh canda dan gelak tawa...

Alhamdulillah, tak sulit menemukan vila tempat sang dosen bermalam. Beliau keluar menemui kami. Dengan senyum! Aku menangkapnya sebagai sesungging kemenangan. Tapi, ah, ini bukan tentang menang-kalah karena memang bukan ajang perlombaan. Buku responsi akhirnya bertandatangan beliau.

Bak lesatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya, Nugroho membawa kami pulang langsung menuju fakultas karena tenggat waktu hari itu jam dua siang.

Lihatlah kawan, foto kami di depan Balairung menjelang sumpah diselenggarakan. Semua tersenyum bahagia. Tidak ada lagi jejak-jejak penat dan lelah – baik fisik maupun psikis – yang menyemaskan sepanjang perjalanan pencapaian menuju seorang dokter! Kami diberinya jalan berliku menujunya agar kami mampu untuk selalu bersyukur dan tetap menggenggam semangat di kalbu dalam setiap langkah kehidupan yang tidak selamanya mulus seperti jalan tol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar