Sehari menjelang mengikuti Bimbingan Teknis Standar Akreditasi Baru di Bandungan, bersama Direktur dan Ketua Yayasan.... Begitu saja teringat dr. Dyah....
*dr. Dyah, beginilah cara saya membangun semangat diri agar tetap dapat bertahan di sepanjang perjalanan akreditasi yang lalu*
***
(Selasa, 5 Juni
2012 22.24)
Dear
dr. Dyah....
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Ijinkan
saya mundur beberapa langkah, menapaktilasi perjalanan yang berujung pada
pertemuan kita. Saya menolak masuk sebuah rumah sakit, tapi tak kuasa untuk tidak
menerima tawaran ketua yayasan rumah sakit ini, yang membuat beberapa orang
bertanya kenapa. Dan dr. Dyah tak mau menerima tawaran ke Lampung, tapi
semangat berkunjung ke kota kami. Semuanya terlihat begitu indah, tertata
dengan rapi, penuh perhitungan yang seksama sehingga terbentuk harmoni yang
menakjubkan. Saya baru mulai bisa memandangnya sekarang. Alangkah indahnya,
meski saya berjalan hanya mengikuti aliran tempat menuju..... *Tatkala perjalanan ini bersandar pada
aliran arus-Nya, tak perlu banyak tanya meski awalnya tak paham arah. Tak usah
bingung meski tak mengerti. Asal tujuan kita pasti - semata hanya karena Allah,
insya Allah kita tak kan tersesat. (terngiang nasehat seorang sahabat)*
(Rabu, 6 Juni 2012
22.19)
Dear
dr. Dyah...
Hari
ini saya masuk kerja dengan mata yang sembab sangat. Saya tidak peduli. Hampir
semua mata yang beradu dengan mata sembab saya bermimik penuh tanya. Kenapa
saya harus peduli?
Hanya
teman saya berdua itu yang tak menanyakan apapun. Mereka telah tahu. Semalam,
sms dr. Dyah telah saya forward ke
mereka berdua. “Njuk, piye, jaaaal...?”
Bunyi sms yang sama dari mereka berdua serentak bersambung. Kita harus tetap
semangat, kata saya. Ah, sebenarnya kata itu saya tujukan hanya untuk diri
sendiri karena begitu saja jiwa ini terpuruk luruh. Bukan soal bisa atau tidak
bisanya konsultasi lagi yang jadi sebab. Bukan soal itu. Luruh ini semata
karena takut kehilangan...
Dear
dr. Dyah...
Rentang
perjalanan di episode akreditasi ini, saya telah kehilangan banyak hal. Dan semua
itu menjadi sebuah kemewahan yang semakin saya rindukan dalam ketakberdayaan.
(Kamis, 7 Juni
2012 22.37)
Dear
dr. Dyah....
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Alangkah
lucunya sehari tadi... Baru sehari tadi, Dok... Sehari. Sehari tidak ada e-mail
dari dr. Dyah, kami sudah merasa kehilangan... Entah berapa kali kami
bergantian mengintip inbox e-mail di sela kesibukan kami menata ulang dokumen
seraya mengoreksinya, berharap ada sebuah - sebuah saja - e-mail dr. Dyah menyapa kami. E-mail yang
membuat kami terpompakan semangatnya. E-mail yang membuat kami tertawa
kegirangan. E-mail yang membuat kami merasa begitu dekat dengan dr. Dyah
walaupun dr. Dyah nun jauh di sana. E-mail yang membuat kami merasa bahwa dr.
Dyah adalah teman seperjalanan kami yang menyenangkan dalam menempuh akreditasi
ini.
Baru sehari tanpa e-mail dr. Dyah, kami telah
kehilangan....
Dear
dr. Dyah....
Alhamdulillah,
meskipun harus kehilangan banyak hal saya bersyukur diberi kesempatan oleh
Allah untuk belajar sesuatu yang sama sekali baru bagi saya.
Periode
ini tidak akan terlupa. Meski di rentang perjalanannya sering membuat jiwa
luruh di titik nadir. Meski ujung episodenya belum terlihat bentuknya. Saya
akan selalu memandangnya dengan pandangan yang sama yang sering dr. Dyah
sampaikan, indah terasa. Kehendak Allah terasa indah pada saatnya.
(Jum’at , 8 Juni
2012 22.23)
Dear
dr. Dyah....
“Ceria
sekali, sudah dapat kabar apa dari dr. Dyah?” sapa Ketua Yayasan di ujung anak
tangga siang tadi. Saya tersenyum, “Standar 7 sudah dibalas, Bu.”
Gara-gara
mata sembab saya beberapa hari lalu itu, Ketua Yayasan selalu menunggu saya di
ujung anak tangga untuk sekadar menanyakan kabar dr. Dyah.
Dear
dr. Dyah...
Pagi
tadi kehebohan pecah di ruang apotek karena BBM-an dr. Dyah dengan mereka.
“Lihat,
nih, lihat... Masa’ gini banget, sih? bla...bla...bla...jujur, ya, berat untuk
lulus...”
Saya
tersenyum getir. Bukan karena kabar itu, tentu.
“Apa
yang akan terjadi kalau dr. Dyah bilang bisa lulus?” saya bertanya sambil
melerai jiwa yang gelisah.
“Kita
akan lengah. Menjadi santai karena sudah merasa bisa lulus,” sambung saya
tatkala matanya tertuju pada pertanyaan saya tanpa jawab. “Jadikan kata-kata
dr. Dyah sebagai cambuk, kerja semaksimal mungkin dan berdoa. Hasilnya serahkan
kepada ALLOH. Beres, kan?”
Ah,
lagi-lagi, sebenarnya kata-kata itu saya tujukan untuk diri saya sendiri.
Dear
dr. Dyah...
Rumah
sakit ini adalah salah satu sekolah saya...
Saya
selalu didera kegelisahan sejak kepulangan saya di kota ini. Dan kegelisahan
itu semakin menampakkan bentuknya setelah saya diberi ALLOH kesempatan untuk
bergabung di rumah sakit ini.
(Sabtu, 9 Juni
2012 22.28)
Dear
dr. Dyah...
Semenjak
bimbingan, Sabtu adalah jadwal duduk bersama antara Yayasan, Direktur, dan Tim
Akreditasi....
Kembali
dr. Dyah menjadi trending topic...
Ketua Tim Akreditasi menanyakan kepada saya, apakah begitu juga dr. Dyah kepada
pokja saya. Serentak bertiga menjawab tidak...”Saya baca komentarnya, kesannya
dr. Dyah ini kok kecewa sekali, marah,” lanjutnya.
Kami
bertiga tetap dalam diam karena tidak tahu harus berkata apa.
(Ahad, 10 Juni
2012 23.33)
Dear
dr. Dyah...
Terbangun
dari tidur yang tak pernah lagi bisa nyenyak sejak episode ini...
Malu
sebenarnya menyampaikan hal ini... Kesemrawutan yang nyaris sempurna...
(Senin, 11 Juni
2012 23.40)
Dear
dr. Dyah...
Sepulang
mengirim buku, saya dibanjiri semangat yang luar biasa dahsyatnya. Tak peduli
menjadi sendiri di pojok ruang karena kedua teman saya pulang awal, target hari
ini saya kebut. Alhamdulillaah....
Dear
dr. Dyah...
Saya
akan menunaikan janji yang diamanahkan kepada saya semampu yang saya bisa
kerjakan. Semaksimal mungkin. Tak peduli lagi, apa hasil yang akan didapatkan. ALLOH
Maha Tahu kehendak-Nya yang lebih baik dari keinginan saya.
Dear
dr. Dyah...
Semangat
itu menjadikan saya mendapatkan kembali sebagian apa yang telah hilang
sebelumnya. Saya baru menyadari bahwa telah begitu lama tak memperhatikan
ikan-ikan di kolam *memaksa saya menyari dedaunan di ujung keremangan senja*. Bisa
menikmati detil lain meskipun sudah berkali-kali nonton Blood Diamond. Bisa
kembali asyik membaca buku... Alhamdulillah Robb-ku, takdir-Mu di atas kehendak-Mu....
(Selasa, 12 Juni
2012 22.18)
Dear
dr. Dyah...
*Kabar yang saya dapat
hari ini membuat saya luruh kembali*
Semakin
jauh saya berjalan di episode ini, rasa syukur saya semakin membuncah. Saya
semakin bisa melihat bahwa ALLOH menghendaki saya memanfaatkan kesempatan di
rumah sakit ini untuk terus belajar dan belajar yang akan membuat saya bisa memahami
esensi sebuah akreditasi. Tak hanya hasil yang harus lulus, tetapi bagaimana
sebuah proses harus berjalan sebagaimana mestinya. InsyaALLAH dr. Dyah, prinsip
akreditasi dan ilmu lain yang saya dapatkan dari sekolah ini akan saya terapkan
pada klinik kecil impian saya. Impian yang menjadi pemicu semangat saya untuk
mau pulang.... Alangkah indahnya takdir ALLOH, segalanya tertata dengan rapi
dan dalam perencanaan yang luar biasa sempurna. Sejak awal.
(Rabu, 13 Juni
2012 22.12)
Dear
dr. Dyah...
Ada
ruginya juga, sebenarnya, menjadi pokja yang dibimbing dr. Dyah. Kini, bila
Ketua Yayasan tidak yakin akan suatu hal, pokja kami diminta meneliti dan
mengoreksinya. Kami dipaksa untuk menjelma menjadi seperti dr. Dyah yang
telitinya luar biasa (kalau Ketua Tim Akreditasi bilang, perfeksionis hehehe....).
Kami menjadi serba salah dengan pokja lain....
Dear
dr. Dyah...
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah...
Bisa
jadi, bila bukan dr. Dyah yang membimbing, kami justru akan semakin tersesat
dalam ketakmengertian kami akan akreditasi – bahkan pada hal yang oleh kami
terlihat sepele dalam detil. Sekarang kami bisa melihatnya dengan jernih
kesalahan-kesalahan pembuatan dokumen. Kini kami dapat “membaca” bagaimana
dokumen harus dipersiapkan dan diimplementasikan. Dan yang terpenting dari
semua itu, saya telah menemukan esensi akreditasi... Inilah sebagian kehendak
ALLOH yang Maha Sempurna itu...
Dear
dr. Dyah...
Jadi
benarlah adanya kesan pertama dr. Dyah saat berhadapan dengan kami, terutama
saya yang selama ini terlalu cinta dengan layanan primer dan dalam waktu kurang
dari 3 bulan diminta mempelajari dan membantu menyiapkan
akreditasi layanan sekunder, bahwa kami belum memahami instrumen akreditasi
dengan baik....
(Sabtu, 16 Juni
2012 22.45)
Dear
dr. Dyah...
Apakah
saya harus bersorak girang, ataukah menangis masygul. Tapi tatkala tadi diberitahu,
jiwa saya semakin luruh...entah untuk alasan apa. Yang pasti, saya semakin
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah. Saya semakin bersyukur bisa belajar
banyak dari segala hal. Saya semakin bersyukur, kehilangan banyak hal itu ALLOH
ganti dengan banyak hal yang lain...
Dear
dr. Dyah...
Dalam
luruh jiwa yang sangat, alhamdulillah, masih bisa tetap tegak karena rasa
syukur...”Ya Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam segala urusan kami.”
(Rabu, 20 Juni
2012 23.01)
Dear
dr. Dyah....
Luruh
itu semakin menghunjam dalam, hingga hampir tak bertepi, ketika apa yang
disampaikan justru membuat saya semakin terhempas gamang.
Haruskah
luruh itu memupus semangat yang telah mulai meredup? Perjalanan episode ini kini
semakin sepi dalam sunyi tatkala bertiga telah mulai terhuyung, meski riuh di
luarnya....*Can you trust the accredited hospitals? Honestly, i don’t think
so... It’s all just about the paperworks... In fact, some hospitals just fake
them in order to get accredited... Sad but true... ( sontak terngiang ujar
seorang teman dalam sebuah diskusi nun jauh di sana )*
Kalaulah
bukan karena janji di atas nama ALLOH......
(Senin, 25 Juni
2012 22.50)
Dear
dr. Dyah...
Hari
ini satu teman saya pulang awal karena batita-nya tidak sehat. Satunya lagi
lesu kehilangan darah kata dan semangat karena beberapa hari ini juga harus
mengurus batita-nya yang sakit. Beginilah ketika harus menjadi perempuan
tangguh.
Jiwa-jiwa
luruh yang tertinggal dalam ruangan itu begitu saja terpompakan semangatnya
ketika menemukan foto-foto saat bimbingan dengan dr. Dyah...
“Tak
mengapa, deh, tak ada e-mail, foto pun jadilah,” gurau saya membangun semangat
diri yang diaminkan teman saya dengan tak kalah sumringahnya.
Subhanallah...
Efeknya luar biasa! Terkikis sudah jenuh yang mulai menggayut diri. Hilang
sudah wajah kuyu tak berdarah kata dan semangat itu!
Dear
dr. Dyah...
Alhamdulillah,
terima kasih telah menjadi teman perjalanan kami hari ini, meski tanpa dr. Dyah
sadari. Inilah kebajikan amal yang dr. Dyah tanam. Semoga kelak di Hari
Pembalasan dr. Dyah dapat memanen buahnya dengan hati riang karena ridho ALLOH
Sang Pemberi Balasan, sebaik-baik pemberi balasan.
(Senin, 2 Juli
2012 23.16)
Dear
dr. Dyah...
Tumbang
juga akhirnya...
Kedua
teman saya tak berdaya menghadapi hantaman common cold. Hari ini terasa semakin
sepi berada di antara berseraknya dokumen. Dan sepi itu semakin menggigit
tatkala ada curhat colongan TS Sp.A baru... Gelisah yang semula telah ada
sedikit penawar, mulai menggeliat lagi...
Dear
dr. Dyah...
Kota
ini laksana dua gunung yang memangkunya. Dilihat dari kejauhan, indah nampak
dalam birunya. Namun dalam kedekatannya, tak semulus nampak dari kejauhannya.
Jurang, tebing, tanjakan terjal, turunan curam, belukar...semua penuh nafas
perjuangan....
Dear
dr. Dyah....
Jadi
teringat sebuah potongan puisi Iqbal,
“ciptakan
tubuh dari sejumput debu
tubuh
yang kuat tinimbang benteng batu
ciptakan
di dalamnya hati yang tabah menanggung rasa sakit
bagaikan
anak sungai yang mengitari lereng-lereng bukit”
Puisi
yang menguntai sebuah doa...
(Rabu 11 Juli
2012 05.35)
Dear
dr. Dyah...
Selesai
sudah amanah itu...
Haruskah
bersorak riang? Entahlah.... Di antara rasa syukur, terselip gelisah jua. Saya
khawatir, bahwa saya telah mulai menjadi katak rebus....
Dear
dr. Dyah...
Rekomendasi
tim surveior itu, tentu, akan saya jadikan sebagai salah satu pertimbangan
dalam memilih setelah episode akreditasi ini “berakhir”... Bukankah telah
semestinya, proseslah yang terpenting, bukan hasil itu sendiri?
Dear
dr. Dyah...
Saya
bersyukur dipertemukan dengan dr. Dyah. Doakan saya, semoga dapat tetap
istiqomah di jalan takwa. Doakan saya, semoga saya – seperti dr. Dyah lakukan
juga – dapat menghindar dari setiap hal yang menjerumuskan saya dalam
kesalahan. Doakan saya, semoga saya sedang tidak menjadi katak rebus....
( Senin 16 Juli
2012 23.24 )
Dear
dr. Dyah...
Telah
saya temukan jawab mengapa saya merasa begitu dekat dengan dr. Dyah. Pertama, dari
semua, dr. Dyah-lah yang paling “steril” akan rumah sakit ini. Dengan demikian
dapat melihat secara jernih dan obyektif kondisi rumah sakit ini. Kedua, apa yang direkomendasikan dr. Dyah memudahkan
urusan saya. Terutama tentang WB. Ketiga, ini alasan personal, dr. Dyah mengingatkan
saya pada dua sosok sahabat saya sekaligus.
Dear
dr. Dyah...
Untuk
jiwa yang selalu gelisah dan banyak kehilangan, hal itu menjadi hadiah terindah
dari ALLOH yang Maha Sempurna setiap detil rencana dan kehendak-Nya.
Dear
dr. Dyah...
Jazakumullah
khairan katsiran, semoga ALLOH membalas kebaikan yang dr. Dyah tanam dengan
lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dear
dr. Dyah....
Teruslah
dan tetaplah lurus istiqomah di jalan takwa. Semoga setiap langkah dan helaan
nafas dr. Dyah menjadi rangkaian anak tangga menuju surga, dan setiap tetes peluh
menjadi untaian mutiara-Nya. Aamiin ya ALLOH ya mujibussailiin.
(Selasa 31 Juli
2012 22.52)
Dear
dr. Dyah...
Siang
hendak pulang tadi, Ketua Tim Akreditasi memberikan berita di bawah anak
tangga, bahwa telah ada kabar dari Jakarta rumah sakit ini lulus akreditasi.
Saya berbalik arah tak jadi pulang sepeninggal beliau, menemui teman saya.
“Alhamdulillah, lega rasanya seperti orang habis melahirkan,” ujarnya menyambut
kabar itu.
Dear
dr. Dyah...
Bagi
saya, hanya satu alasan yang membuat saya lega dengan kelulusan itu, bisa
meninggalkan rumah sakit ini dengan langkah ringan... Hanya itu... Selebihnya,
jujur di paling dalam sanubari, gelisah saya kian menjadi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar